Pages

Selasa, 22 November 2011

Askep Hialin Membran Disease


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
            Syndrome gawat nafas (respiratory distress syndrome) adalah istilah yang digunakan untuk disfungsi pernapasan pada neonatus. Gangguan ini merupakan penyakit yang berhubungan dengan keterlambatan perkembangan maturitas paru (Whalley dan wong,1995). Gangguan ini biasanya juga di kenal dengan nama hyaline membrane disease (HMD) atau penyakit membrane hyaline, karena pada penyakit ini selalu ditemukan membran hialin yang melapisi alveoli serta ketidakadekuatan produksi surfaktan dalam paru.
            Bangunan paru janin dan produksi surfaktan penting untuk fungsi respirasi normal. Bangunan paru dari produksi surfaktan bervariasi pada masing-masing bayi. Bayi prematur lahir sebelum produksi surfaktan memadai. Surfaktan, suatu senyawa lipoprotein yang mengisi alveoli, mencegah alveolar kolaps dan menurunkan kerja respirasi dengan menurunkan tegangan permukaan. Pada defisiensi surfaktan, tegangan permukaan meningkat, menyebabkan kolapsnya alveolar dan menurunnya komplians paru, yang mana akan mempengaruhi ventilasi alveolar sehingga terjadi hipoksemia dan hiperkapnia dengan asidosis respiratory.
            RDS sering ditemukan pada bayi premature. Insidens berbanding terbalik dengan usia kehamilan dan berat badan. Artinya semakin muda usia kehamilan ibu semakin tinggi kejadian RDS pada bayi tersebut. Sebaliknya, semakin tua usia kehamilan semakin rendah kejadian RDS. Persentase kejadian menurut usia kehamilan adalah 60-80% terjadi pada bayi yang lahir dengan usia kehamilan kurang dari 28 minggu, 15-30% pada bayi antara 32-36 minggu dan jarang sekali ditemukan pada bayi cukup bulan(matur). Selain itu kenaikan frekuensi juga ditemukan pada bayi yang lahir dari ibu yang menderita gangguan perfusi darah uterus selama kehamilan misalnya,ibu penderita diabetes, hipertensi, hipotensi, seksio serta perdarahan antepartum.
             RDS merupakan penyebab utama kematian dan kesakitan pada bayi prematur, biasanya setelah 3 – 5 hari. Prognosanya buruk jika support ventilasi lama diperlukan, kematian bisa terjadi setelah 3 hari penanganan.



1.2 Rumusan Masalah
1.   Apa definisi hialin membran disease?
2.   Apa etiologi atau faktor pencetus hialin membran disease?
3.   Apa saja manifestasi klinis Hialin membran disease?
4.   Bagaimana patofisiologi hialin membran disease?
5.   Apa saja pemeriksaan penunjang untuk klien dengan Hialin membran disease?
6.   Bagaimana penatalaksanaan klien dengan hialin membran disease?
7.   Apa komplikasi dari hialin membran disease?
8.   Bagaimana asuhan keperawatan pasien dengan hialin membran disease?
9.   Bagaimana prognosis dari hialin membrane disease?

1.3 Tujuan
Tujuan Umum
 Mahasiswa dapat mengetahui dan mencegah terjadinya Hialin membran disease.
Tujuan Khusus
1.Mengetahui definisi Hialin membran disease
2.Mengetahui etiologi/ faktor pencetus Hialin membran disease
3.Menyebutkan manifestasi klinis Hialin membran disease
4.Menyebutkan patofisiologi Hialin membran disease
5.Mengetahui pemeriksaan penunjang pada Hialin membran disease
6.Mengetahui penatalaksanaan klien dengan Hialin membran disease
7.Mengetahui komplikasi dari Hialin membran disease
8.Menjelaskan asuhan keperawatan pasien dengan Hialin membran disease
9.Mengetahui prognosis dari hialin membrane disease

1.4  Manfaat
1.   Mendapatkan pengetahuan tentang Hialin membran disease
2.   Mendapatkan pengetahuan tentang asuhan keperawatan Hialin membran disease
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Respiratory distress syndrom yang idiopatik dikenal juga sebagai Hyalin Membrane Disease, hyaline membrane disease merupakan keadaan akut yang terutama ditemukan pada bayi prematur saat lahir atau segera setelah lahir, lebih sering pada bayi dengan usia gestasi dibawah 32 minggu yang mempunyai berat dibawah 1500 gram (Suryadi dan Yuliani, 2001). RDS adalah keadaan hipoksia dan cedera paru yang terjadi akibat atelektasis primer yang luas.
Sindrom distress pernapasan dapat dibagi menjadi :
1.                  Sindrom Distres Pernapasan Dewasa ( ARDS )
2.                  Sindrom Distres pernapasan Idiopatik Bayi Baru Lahir ( IRDS )
            ARDS adalah suatu penyakit yang ditandai oleh kerusakan luas alveolus dan atau membran kapiler paru. ARDS selalu terjadi setelah suatu gangguan besar pada sistem paru,  kardiovaskuler atau tubuh secara luas.
Bangunan paru janin dan produksi surfaktan penting untuk fungsi respirasi normal. Bangunan paru dari produksi surfaktan bervariasi pada masing-masing bayi. Bayi prematur lahir sebelum produksi surfaktan memadai. Surfaktan, suatu senyawa lipoprotein yang mengisi alveoli, mencegah alveolar kolaps dan menurunkan kerja respirasi dengan menurunkan tegangan permukaan. Pada defisiensi surfaktan, tegangan permukaan meningkat, menyebabkan kolapsnya alveolar dan menurunnya komplians paru, yang mana akan mempengaruhi ventilasi alveolar  sehingga terjadi hipoksemia dan hiperkapnia dengan asidosis respiratory. Reduksi pada ventilasi akan menyebabkan ventilasi dan perfusi sirkulasi paru menjadi buruk, menyebabkan keadaan hipoksemia. Hipoksia jaringan dan asidosis metabolik terjadi berhubungan dengan atelektasis dan kegagalan pernafasan yang progresif.
               
Atelektasis primer mengacu kepada keadaan kolapsnya alveolus secara substansial yang dijumpai pada bayi baru lahir. Dengan kolapsya alveolus maka ventilasi berkurang. Timbul hipoksia yang menyebabkan cedera paru dan terpacunya reaksi peradangan. Peradangan menyebabkan edema dan pembengkakkan ruang interstisium yang semakin menurunkan pertukaran gas antara kapiler dan alveolus yang masih berfungsi. Peradangan juga menyebabkan terbentuknya membran-membran hialin yang merupakan akumulasi fibrin putih di alveolus. Pengendapan fibrin tersebut semakin menurunkan pertukaran gas serta compliance paru maka usaha bernapas meningkat.
                Penurunan ventilasi alveolus menyebabkan penurunan vasokonstriksi arteriol paru. Vasokonstriksi paru dapat menyebabkan peningkatan volume dan tekanan jantung kanan, sehingga terjadi pirau darah dari atrium kanan, melalui foramen ovale bayi baru lahir yang masih paten, langsung ke atrium kiri. Demikian juga, resistensi paru yang tinggi juga dapat menyebabkan darah deoksigenasi melewatkan paru dan langsung di salurkan ke sisi kiri tubuh melalui duktus arteriosus dan menyebabkan pirau kanan ke kiri. Pirau kanan ke kiri memperburuk keadaan hipoksia, sehingga timbul sianosis berat.
Untuk setiap usaha melakukan ventilasi pada alveolus yang kolaps, bayi harus mengeluarkan sejumlah besar energi. Pengeluaran energi tersebut akan diiringi oleh peningkatan kebutuhan oksigen yang semakin memperparah sianosis. Seiring dengan peningkatan kebutuhan oksigen bayi terperangkap dalam suatu siklus umpan balik positif.
Pada awalnya bayi akan memperlihatkan napas yang cepat dan dangkal sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan oksigennya yang tinggi, sehinga pada analisis gas darah mula-mula terjadi alkalosis respiratorik karena karbon dioksida terbuang. Namun, bayi akan segera kelelahan karena kesulitan mengembangkan alveolus dan parunya dan tidak dapat mempertahankan usaha respirasinya. Apabila hal ini terjadi, maka usaha  bernapas melambat dan gas darah memperlihatkan asidosis respiratorik dan dimulainya kegagalan pernapasan.

Maka dijelaskan dengan skema di bawah ini
         Peningkatan usaha bernapas
+                                                           +

      Peningkatan kebutuhan oksigen

Sewaktu usaha bernapas meningkat maka kebutuhan oksigen juga meningkat yang kemudian meningkatkan usaha bernapas.

2.2                          Etiologi
2.2.1                    IRDS
                                                1.      Prematuritas dengan paru-paru yang imatur (gestasi dibawah 32 minggu) dan tidak adanya, gangguan atau defisiensi surfactant
                                                2.      Bayi prematur yang lahir dengan operasi Caesar
Karena dadanya tidak mengalami kompresi oleh jalan lahir sehingga menghambat pengeluaran cairan dari dalam paru.
                                                3.      Penurunan suplay oksigen saat janin atau saat kelahiran pada bayi matur atau prematur.
2.2.2                    ARDS
Terjadi akibat cedera langsung pada kapiler paru atau alveolus.Namun karena kapiler dan alveolus berhubungan sangat erat maka destruksi yang luas pada salah satunya biasanya menyebabkan destruksi yang lain.Hal ini terjadi akibat pengeluaran enzim-enzim litik oleh sel-sel yang mati,serta reaksi peradangan yang terjadi setelah cedera dan kematian sel. contoh-contoh kondisi yang mempengaruhi kapiler dan alveolus disajikan di bawah ini :
1.      Destruksi Kapiler
Akan terjadi pergerakan plasma dan sel darah merah keruangan interstisium. Hal ini meningkatkan jarak yang harus di tempuh oksigen dan karbondioksida untuk berdifusi, sehingga kecepata pertukaran gas menurun. Cairan yang menumpuk di cairan interstisium bergerak ke dalam alveolus,mengencerkan surfaktan dan meningkatkan tegangan permukaan. Hal ini kemudian menyebabkan penurunan ventilasi dan hipoksia. Penyebab kerusakan kapiler paru antara lain adalah septicemia, pancreatitis dan uremia. Pneumonia, inhalasi asap, trauma dan tenggelam juga dapat merusak kapiler.
2.      Destruksi Alveolar
Penyebab kerusakan alveolus antara lain adalah pneumonia, aspirasi dan inhalasi asap. Toksisitas oksigen yang timbul setelah 24-36 jam terapi oksigen tinggi, juga dapat menjadi penyebab kerusakan membran alveolus melalui pembentukan radikal-radikal bebas oksigen.
Tanpa oksigen, jaringan vaskular dan paru mengalami hipoksia sehingga semakin memyebabkan cedera dan  kematian sel. Apabila alveolus dan kapiler telah rusak, maka reaksi peradangan akan terpacu yang menyebabkan terjadinya edema dan pembengkakan ruang interstisium serta kerusakan kapiler dan alveolus di sekitarnya. Dalam 24 jam setelah awitan ARDS, terbentuk membran hialin didalam alveolus. Membran ini adalah pengendapan fibrin putih yang bertambah secara progresif dan semakin mengurangi pertukaran gas.Akhirnya terjadi fibrosis menyebabkan alveolus lenyap. Ventilasi, respirasi dan perfusi semuanya terganggu. Angka kematian akibat ARDS adalah sekitar 50%.
Faktor resiko :
1.                  Prematuritas
2.                  Kelompok bayi baru lahir
Semakin prematur bayi semakin tinggi terjadi IRDS, sel-sel alveolus penghasil surfaktan belum matang sampai usia gestasi antara 28 dan 32 minggu.
Ada 3 hal berkaitan dengan IRDS :
·            Bayi yang lahir sebelum surfaktan terbentuk
Di alveolus akan menghadapi tegangan permukaan alveolus yang sangat tinggi setiap kali bernapas, ini berperan menyebabkan atelektasis primer yang dijumpai pada IRDS
·            Alveolus bayi prematur berukuran sangat kecil dan tidak berlipat-lipat
Ini merupakan faktor yang berperan meningkatkan tekanan yang harus dilakukan untuk mengatasi tegangan permukaan
·            Bayi prematur memiliki otot dada yang lemah dan belum berkembang
Mustahil bayi tanpa surfaktan dapat berhasil mengembangkan alveolusnya dari waktu ke waktu,napas demi napas.
3.                  Kelompok lain bayi baru lahir yang beresiko menderita IRDS adalah bayi yang lahir dari ibu Diabetes Melitus Dependen-insulin. Tampaknya isulin yang disuntikkan menghambat pembentukkan surfaktan.


2.3                          Patofisiologi
Bayi prematur lahir dengan kondisi paru yang belum siap sepenuhnya untuk berfungsi sebagai organ pertukaran gas yang efektif. Hal ini merupakan faktor  kritis dalam terjadinya RDS. Ketidaksiapan paru menjalankan fungsinya tersebut terutama disebabkan oleh kekurangan atau tidak adanya surfaktan.
Surfaktan adalah substansi yang merendahkan tegangan permukaan alveolus sehingga tidak terjadi kolaps pada akhir ekspirasi dan mampu menahan sisa udara fungsional ( kapasitas residu fungsional ) ( Ilmu kesehatan anak, 1985 ). Surfaktan dihasilkan oleh sel alveolar type II dan terdiri dari dipalmitil fosfatidilkolin (lesitin), fosfatidil gliserol, apoprotein, kolesterol. Senyawa utama zat tersebut adalah lesitin yang mulai dibentuk pada umur kehamilan 22 – 24 minggu dan berjumlah cukup untuk berfungsi normal setelah minggu ke 35. Sintesis surfaktan dipengaruhi sebagian oleh PH, suhu, dan perfusi normal. Asfiksia, Hipoksemia, dan iskemia paru terutama dalam hubungannya dengan hipovolemia, hipotensi, dan stress dingin dapat menekan sintesis surfaktan. Lapisan epitel paru dapat juga terkena trauma akibat kadar oksigen yang tinggi dan pengaruh penatalaksanaan pernapasan yang mengakibatkan penurunan surfaktan lebih lanjut. Jumlah surfaktan akan meningkat oleh pengaruh hormon tiroid, dan RDS lebih sering dijumpai serta lebih parah pada bayi dengan kadar hormon tiroid plasma yang rendah dibandingkan pada bayi dengan kadar hormon plasma normal. Proses pematangan surfaktan dalam paru juga dipercepat oleh hormon glukokortikoid. Menjelang umur kehamilan cukup bulan didapatkan peningkatan kadar kortisol fetal dan maternal, serta jaringan parunya kaya akan reseptor glukokortikoid.
Surfaktan menyebabkan ekspansi paru pada tekanan intraalveolar yang rendah. Kekurangan atau ketidakmatangan fungsi surfaktan menimbulkan ketidakseimbangan inflasi saat inspirasi dan kolaps alveoli saat ekspirasi. Kolaps paru ini akan menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO2 dan asidosis. Hipoksia akan menimbulkan :
1.         Oksigenasi jaringan menurun, sehingga akan terjadi metabolisme anaerobik dengan penimbunan asam laktat dan asam organik lainnya yang menyebabkan terjadinya asidosis metabolik pada bayi,
2.         Kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveoli dan terbentuknya fibrin dan selanjutnya fibrin bersama-sama dengan jaringan epitel yang nekrotik membentuk suatu lapisan yang disebut membran hialin.
 Tanpa surfaktan janin tidak dapat menjaga parunya tetap mengembang. Oleh karena itu perlu usaha yang keras untuk mengembangkan parunya.pada setiap hembusan napas (ekspirasi) sehingga untuk pernapasan berikutnya dibutuhkan tekanan negatif intratoraks yang lebih besar dengan disertai usaha inspirasi yang kuat. Akibatnya setiap kali bernapas menjadi sukar seperti saat pertama kali bernapas ( saat kelahiran ). Sebagai akibatnya janin lebih banyak menghabiskan oksigen untuk menghasilkan energi ini daripada yang ia terima dan ini menyebabkan bayi kelelahan. Dengan meningkatnya kelelahan bayi akan ketidakmampuan mempertahankan pengembangan paru ini dapat menyebabkan atelektasis. Atlektasis menyebabkan paru tidak mampu mengeluarkan karbondioksida dari sisa pernapasan sehingga terjadi asidosis respiratorik. Penurunan PH menyebabkan vasokontriksi yang makin berat. Dengan penurunan sirkulasi paru dan  perfusi alveolar , PaO2 akan menurun tajam, PH juga akan menurun tajam serta materi yang diperlukan untuk produksi surfaktan tidak mengalir ke dalam alveoli.
Secara singkat dapat diterangkan bahwa dalam tubuh terjadi lingkaran setan yang terdiri dari :
a.   atelektasis
b.   hipoksia
c.   asidosis
d.   transudasi
e.   penurunan aliran darah paru
f.    hambatan pembentukan substansi surfaktan
Hal ini akan berlangsung terus sampai terjadi penyembuhan atau kematian bayi.
RDS adalah penyakit yang dapat sembuh sendiri dan mengikuti masa deteriosasi ( kurang lebih 48 jam ) dan jika tidak ada komplikasi paru akan membaik dalam 72 jam. Proses perbaikan ini terutama dikaitkan dengan meningkatkan produksi dan ketersediaan materi surfaktan.

2.4 Manifestasi Klinis
      Gejala – gejalanya berupa :
1.                  Dispnoe Berat
2.                  Penurunan Compliance Paru
3.                  Pernapasan yang dangkal dan  cepat pada mulanya yang menyebabkan alkalosis respiratorik karena ( CO2 ) karbondioksida banyak terbang.
4.                  Peningkatan kecepatan penapasan
5.                  Nafasnya pendek dan ketika menghembuskan nafas terdengar suara ngorok
6.                  Kulit kehitaman akibat hipoksia
7.                  Retraksi antargia atau dada setiap kali bernapas
8.                  Napas cuping hidung
9.                  Banyak bayi selamat dari IRDS, dimana gejala mereda dan menghilang biasanya dalam 3 hari.
10.              Takipnea ( > 60x/mnt)

2.5 Pemeriksaan Diagnosis
            2.5.1    Penentuan faktor komplikasi perlu dilakukan dengan tes spesifik, seperti :
1.                  Darah
2.                  Urine dan glukosa darah ( untuk mengetahui  hipoglikemia )
3.                  Kalsium serum ( untuk meningkatkan hipokalsemia )
4.                  Analisis gas darah ( menentukan PH serum )
Analisa Gas Darah, PaO2 ( tes untuk hipoksia ) kurang dari 50 mmHg, PaCO2 kurang dari 60 mmHg, saturasi oksigen 92% - 94%, pH 7,31 – 7,45.
5.                  Level Potasium
Level pottasium, meningkat sebagai hasil dari release potassium dari sel alveolar yang rusak.
6.                  Seri Rontgen Dada : untuk melihat densitas atelektasis dan elevasi diaphragma dengan overdistensi duktus alveolar.
7.                  Bronchogram udara untuk menentukan ventilasi jalan nafas.

2.5.2    Diagnostik prenatal
            Untuk menentukan maturitas paru dilakukan pemeriksaan ( tes cairan amnion ) yang disebut rasio L/S ( lesitin banding spingomielin ). Rasio L/S ini berguna untuk menentukan maturitas paru. Fosfolipid disintesis di sel alveolar dan konsentrasi dalam cairan amnion selalau berubah selama masa kehamilan. Pada mulanya spingomielin lebih banyak, tetapi kira-kira pada usia kehamilan 32-33 minggu konsenrasi menjadi seimbang kemudian spingomielin berkurang dan lesitin meningkat secara berarti sampai usia kehamilan 35 minggu dengan rasio 2:1.

2.6 Penatalaksanaan
            Dasar tindakan penatalaksanaan pada penderita adalah mempertahankan penderita dalam suasana fisiologik yang sebaik-baiknya, agar bayi mampu melanjutkan perkembangan paru dan organ lain, sehingga ia dapat mengadakan adaptasi sendiri terhadap sekitarnya. Suhu bayi dijaga agar tetap normal (36,3 – 37°C) dengan meletakkan bayi dalam inkubator antara 70 – 80%. Makanan peroral sebaiknya tidak diberikan dan bayi diberi cairan intravena yang disesuaikan dengan kebutuhan kalorinya. Adapun pemberian cairan ini bertujuan untuk memberikan kalori yang cukup, menjaga agar bayi tidak mengalami dehidrasi, mempertahankan pengeluaran cairan melalui ginjal dan mempertahankan keseimbangan asam basa tubuh. Dalam 48 jam pertama biasanya cairan yang diberikan terdiri dari glukosa/dekstrose 10% dalam jumlah 100 ml/KgBB/hari. Dengan pemberian secara ini diharapkan kalori yang dibutuhkan (40 kkal/KgBB/hari) untuk mencegah katabolisme tubuh dapat dipenuhi. Tergantung ada tidaknya asidosis, maka cairan yang diberikan dapat pula berupa campuran glukosa 10% dan natrium bikarbonat 1,5% dengan perbandingan 4 : 1. Untuk hal ini pemeriksaan keseimbangan asam basa tubuh perlu dilakukan secara sempurna. Disamping itu pemeriksaan elektrolit perlu diperhatiakn pula.
      2.6.1 Keperawatan
1.         Pengobatan RDS diarahkan untuk pencegahan
Pencegahan Penyebab lain dari kematian bayi antara lain adalah perhatian terhadap di mana dan dalam posisi apa bayi ditempatkan dan usaha-usaha untuk mencegah penganiyayaan anak.
2.         Pemberian minum per oral tidak diperbolehkan selama fase akut penyakit, karena dapat menyebabkan aspirasi. Pemberian minum dapat diberikan melalui parenteral.

3.         Tindakan Pendukung yang Krusial
·   Mempertahankan ventilasi dan oksigenisasi adekuat
·   Mempertahankan keseimbangan asam-basa
·   Mempertahankan suhu lingkungan netral
·   Mempertahankan perfusi jaringan yang adekuat
·   Mencegah hipotermia
·   Mempertahankan cairan dan elektrolit yang adekuat

4.         Pertimbangan Keperawatan
Dalam merawat bayi RDS perawat harus melakukan observasi cermat dan intensif, masalah kompleks yang berhubungan dengan terapi pernapasan harus diperhatikan terutama pengobatan yang kontinu terhadap hipoksemia dan asidosis. Fungsi keperawatan yang paling penting adalah mengamati respon bayi terhadap terapi, mucus mungkin terkumpul di saluran pernapasan yang akan menghambat saluran pernapasan dan selang endotrakea (ET).
Pengisapan hanya dilakukan bila diperlukan dan berdasarkan pertimbangan terhadap bayi tersebut. Pertimbangan terhadap pengisapan termasuk auskultasi dada, pembuktian bahwa oksigenisasi rendah, kelebihan kelembaban pada selang ET dan kepekaan bayi.
Pada saat melakukan pengisapan mukus, perawat harus menyadari dan waspada tentang hal berikut :
                                                                  1.         Pengisapan bukan prosedur yang aman karena dapat menyebabkan spasme bronkus, bradikardia karena stimulasi saraf fagal, hipoksia, dan peningkatan tekanan intrakranial sehingga mendorong bayi pada keadaan hemoragi intraventrikular. Tindakan ini tidak boleh dilakukan secara rutin, teknik pengisapan ini dapat menyebabkan infeksi, kerusakan jalan pernapasan bahkan pneumotoraks.
                                                                     2.      Penting diperhatikan bahwa pengisapan yang terus menerus akan ikut mengeluarkan udara bersamaan dengan keluarnya mucus. Oleh karena itu sekali pengisapan tidak boleh lebih dari 5 detik ( pengisapan menyebabkan saluran udara terambat )
                                                                        3.   Tujuan pengisapan jalan napas buatan adalah menjaga terbukanya jalan napas, bukan bronkus. Pengisapan yang dilakukan di luar ET dapat menyebabkan lesi trauma pada trakea.
                                                                        4.   Awasi oksigenisasi atau oksimeter denyut nadi sebelum, selama dan sesudah pengisapan untuk memberi penilaian yang terus menerus terhadap status oksigenisasi dan untuk menghindari hipoksemia.
2.6.2 Medis
Pengobatan yang biasa diberikan selama fase akut penyakit RDS adalah :
1.            Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder
Setiap penderita PMH perlu mendapat antibiotika untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder. Antibiotik diberikan adalah yang mempunyai spektrum luas penisilin (50.000 U-100.000 U/KgBB/hari) atau ampicilin (100 mg/KgBB/hari) dengan gentamisin (3-5 mg/KgBB/hari).
Antibiotik diberikan selama bayi mendapatkan cairan intravena sampai gejala gangguan nafas tidak ditemukan lagi.
2.            Furosemid untuk memfasilitasi reduksi cairan ginjal dan menurunkan cairan paru
3.            Fenobarbital
4.            Vitamin E untuk menurunkan produksi radikal bebas oksigen
5.            Metilksantin ( teofilin dan kafein ) untuk mengobati apnea dan untuk pemberhentian dari pemakaian ventilasi mekanik
6.            Pemberian Surfaktan Buatan
Berdasar atas penelitian Fujiwara (1980) dan Morley (1981). Surfaktan artifisial yang dibuat dari dipalmitoilfosfatidilkolin dan fosfatidilgliserol dengan perbandingan 7 : 3 telah dapat mengobati penderita penyakit tersebut. Bayi tersebut diberi surfaktan artifisial sebanyak 25 mg dosis tunggal dengan menyemprotkan ke dalam trakea penderita. Salah satu pengobatan terbaru dan telah diterima penggunaanya adalah pemberian surfaktan eksogen. Surfakatan eksogen adalah derivate dari sumber alami misalnya manusia ( di dapat dari cairan amnion atau paru sapi,tetapi bisa juga berbentuk surfakatan buatan ). Surfaktan ini disemprotkan ke dalam trakea dengan dosis 60 mg/KgBB.
7.            Pemberian Oksigen
Oksigen mempunyai pengaruh yang kompleks terhadap bayi baru lahir. Pemberian O2 yang terlalu banyak dapat menimbulkan komplikasi yang tidak diinginkan seperti fibrosis paru, kerusakan retina (retrolental fibroplasta) dan lain-lain.
Untuk mencegah timbulnya komplikasi ini, pemberian O2 sebaiknya diikuti dengan :
a.       Pemeriksaan tekanan O2 arterial (PaO2) secara teratur.
b.      Konsentrasi O2 yang diberikan harus dijaga agar cukup untuk mempertahankan tekanan PaO2 antara 80 – 100 mmHg.
c.       Bila fasilitas untuk pemeriksaan tekanan gas arterial tidak ada, O2 dapat diberikan sampai gejala cyanosis menghilang.
Pada M.H.D. yang berat, kadang-kadang perlu dilakukan ventilasi dengan respirator. Cara ini disebut Intermitten Positive Pressure Ventilation (I.P.P.V.). I.P.P.V. ini baru dikerjakan apabila pada pemeriksaan O2 dengan konsentrasi tinggi (100%), bayi tidak memperlihatkan perbaikan dan tetap menunjukkan :
a.       PaO2 kurang dari 50 mmHg
b.      PaCO2 lebih dari 70 mmHg dan masih sering terjadi asphyxial attact walaupun kemungkinan hipotermia, hipoglikemia dan acidosis metabolik telah disingkirkan.

2.7 Komplikasi
      Komplikasi yang dapat terjadi akibat penyakit membrane hialin, diantaranya :
1. Perdarahan intrakranial oleh karena belum berkembangnya sistem saraf pusat terutama sistem vaskularisasinya, adanya hipoksia dan hipotensi yang kadang-kadang disertai renjatan. Faktor tersebut dapat membuka nekrosis iskemik, terutama pada pembuluh darah kapiler di daerah periventrikular dan dapat juga di ganglia basalis dan jaringan otak.
2. Gejala neurologik yang tampak berupa kesadaran yang menurun, apneu, gerakan bola mata yang aneh, kekakuan extremitas dan bentuk kejang neonatus lainnya.
3. Komplikasi pneumotoraks atau pneuma mediastinum mungkin timbul pada bayi yang mendapatkan bantuan ventilasi mekanis. Pemberian O2 dengan tekanan yang tidak terkontrol baik, mungkin menyebabkan pecahnya alveolus sehingga udara pernafasan yang memasuki rongga-ronga toraks atau rongga mediastinum.
2.8 Prognosis
Prognosis sindrom ini tergantung dari tingkat prematuritas dan beratnya penyakit. Pada penderita yang ringan penyembuhan dapat terjadi pada hari ke-3 atau ke-4 dan pada hari ke-7 terjadi penyembuhan sempurna. Pada penderita yang lanjut, mortalitas diperkirakan 20-40 %. Dengan perawatan yang intensif dan cara pengobatan terbaru mortalitas ini dapat menurun. Prognosis jangka panjang sulit diramalkan. Kelainan yang timbul dikemudian hari lebih cenderung disebabkan komplikasi pengobatan yang diberikan dan bukan akibat penyakitnya sendiri. Sekitar 75% dari bayi baru lahir yang berada di bawah 1.000 g bertahan hidup, dan mortalitas secara progresif menurun pada berat badan yang lebih tinggi, dengan lebih dari 95% bayi sakit yang bertahan hidup beratnya lebih dari 2.500 g. walaupun 85 - 90% dari semua bayi PMH, yang bertahan hidup setelah mendapat dukungan ventilasi dengan respirator adalah normal, harapan yang ada pada mereka yang beratnya diatas 1.500 g adalah jauh lebih baik.
Pada fungsi paru yang normal pada kebanyakan bayi yang dapat hidup dari Penyakit Membran Hialin, prognosisnya sangat baik. Namun bayi yang berhasil bertahan hidup dari kegagalan pernapasan neonatus yang berat dapat mengalami gangguan paru dan perkembangan saraf yang berarti.





























BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
3.1.1 Anamnesa :
1)         Data Demografi
a.           Nama
b.          Usia : bayi yang lahir sebelum gestasi 29 minggu.
c.           Jenis Kelamin
d.          Suku / Bangsa
e.           Alamat
2)      Keluhan Utama :
Pasien dengan RDS didapatkan keluhan seperti sesak, mengorok ekspiratori, pernapasan cuping hidung, lemah, lesu, apneu, tidak responsive, penurunan bunyi napas.
3)      Riwayat Penyakit Sekarang :
Pada pasien RDS, biasanya akan diawali dengan tanda-tanda mudah letih, dispnea, sianosis, bradikardi, hipotensi, hipotermi, tonus otot menurun, edema terutama di daerah dorsal tangan atau kaki, retraksi supersternal/ epigastrik/ intercosta, grunting expirasi. Perlu juga ditanyakan mulai kapan keluhan itu muncul. Apa tindakan yang telah dilakukan untuk menurunkan atau menghilangkan keluhan-keluhan tersebut.
4)      Riwayat Penyakit Dahulu :
Perlu ditanyakan apakah pasien mengalami prematuritas dengan paru-paru yang imatur (gestasi dibawah 32 minggu), gangguan surfactan, lahir premature dengan operasi Caesar serta penurunan suplay oksigen saat janin saat kelahiran pada bayi matur atau premature, atelektasis, diabetes mellitus, hipoksia, asidosis



5)      Riwayat Maternal
Meliputi riwayat menderita penyakit seperti diabetes mellitus, kondisi seperti perdarahan placenta, placenta previa, tipe dan lama persalinan, stress fetal atau  intrapartus, dan  makrosomnia (bayi dengan ukuran besar akibat ibu yang memiliki riwayat sebagai perokok, dan  pengkonsumsi minuman keras serta tidak memperhatikan gizi yang baik bagi janin).
6)      Riwayat penyakit keluarga
      Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit-penyakit-penyakit yang disinyalir sebagai penyebab kelahiran premature / Caesar sehinnga menimbulakan membrane hyialin disease.
7)      Riwayat psikososial
       Meliputi perasaan keluarga pasien terhadap penyakitnya, bagaimana cara mengatasinya serta bagaimana perilaku keluarga pasien terhadap tindakan yang dilakukan terhadap bayinya.
8)      Status Infant saat Lahir
a.          Prematur, umur kehamilan.
b.         Apgar score, apakah terjadi aspiksia.
Apgar score adalah : Suatu ukuran yang dipakai untuk mengevaluasi keadaan umum bayi baru lahir.
c.          Bayi premature yang lahir melalui operasi Caesar

ROS ( Review of System )
1)      B1 ( Breath )
a. Takipnea (pernafasan lebih dari 60 x per menit, mungkin 80 – 100 x ).
b.Nafas grunting (Suara napas yang merupakan suara keran penutupan glottis untuk menghentikan ekhalasi udara dengan menekan pita suara)
c. Nasal flaring (keadaan untuk menurunkan resistensi dari respirasi dengan membuka lebar jalan napas)
d.                        Retraksi intercostal, suprasternal, atau substernal.
e. Cyanosis (sentral kemudian diikuti sirkumoral) berhubungan dengan persentase desaturasi hemoglobin.
f. Penurunan suara nafas crakles, episode apnea.

2)      B2 ( Blood )
a.    Bradikardi (dibawah 100 x per menit) dengan hipoksemia berat.
b.   Murmur sistolik.
c.    Denyut jantung dalam batas normal.

3)      B3 ( Brain )
Integritas ego meliputi letargi, gelisah, otot muka tegang, euphoria. Neurosensori meliputi gangguan sensori, kelemahan dan kenaikan tekanan pada pembuluh darah cerebral, imobilitas, flaciditas, penurunan suhu tubuh.
4)      B4 ( Bladder )       : Perubahan eliminasi urin : oliguri
5)      B5 ( Bowel )          : Penurunan motilitas usus
6)      B6 ( Bone )           : Imobilitas dan  kelemahan.

3.2  Diagnosa Keperawatan
                              1.            Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan  penurunan volume dan komplians paru, perfusi paru dan ventilasi alveolar.
                              2.            Resiko tinggi deficit volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan akibat risiko aspirasi dan tersedak
                              3.            Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan menghisap, penurunan motilitas usus.
                              4.            Koping keluarga inefektif berhubungan dengan ansietas, perasaan bersalah, dan perpisahan dengan bayi sebagai akibat situasi krisis

3.3                          Intervensi dan Rasional
                              1.            Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan volume dan komplians paru, perfusi paru dan ventilasi alveolar.
Tujuan : Tanda dan  gejala disstres pernafasan, deviasi dari fungsi dan resiko infant terhadap RDS dapat teridentifikasi
Kriteria Hasil :
-   Menunjukan perbaikan ventilasi dan oksigenisasi jaringan adekuat dengan  GDA  dalam  rentang normal .
  -   Bebas dari gejala distres pernafasan.
 Kriteria hasil :
-          Bernapas tidak menggunakan cuping hidung
-          Tidak ada retraksi interkosta
-          RR :30-60 x/Menit
-          HR: 120- 140/Menit
-          Suhu : 36,5 – 37 C
-          Sianosis (-)
-          Ekstremitas hangat
-       Klien menunjukkan perbaikan ventilasi dan kadar oksigen jaringan dengan GDA dalam rentang normal.
   Gas-gas darah dalam rentang normal :
·         pH        : 7,35-7,45
·         pO2      : 80-100 mmHg
·         pCO      : 235-45 mmHg
·         HCO3   : 22-26 mEg/L
·         Saturasi ≥ 95%



Intervensi
Rasional
   Mandiri
1)   Pantau dispnea, takipnea, bunyi napas, peningkatan upaya pernapasan, ekspansi, paru, dan kelemahan.

TB paru mengakibatkan efek luas pada paru dari bagian kecil bronchopneumonia sampai inflamasi difusi yang luas, nekrosis. Efusi pleura, dan fibrosis yang luas. Efeknya terhadap pernapasan bervariasi dari gejala ringan, dispnea berat, sampai distress pernapasan.
2)      Evaluasi perubahan  tingkat kesadaran, catat syanosis, dan perubahan warna kulit, termasuk membrane mukosa dan kuku.
Akumulasi secret dan berkurangnya jaringan paru yang sehat dapat mengganggu oksigenasi organ vital dan jaringan tubuh.
3)      Tunjukkan dan dukung pernapasan bibir selama ekspirasi khususnya untuk klien dengan fibrosis dan kerusakan parenkim paru.
Membuat tahanan melawan udara luar untuk mencegah kolaps/ penyempitan jalan napas sehingga membantu menyebarkan udara melalui paru dan mengurangi napas pendek.
4)      Mengkaji status mental
Kelemahan, mudah tersinggung, bingung dapat merefleksikana adanya hipoksemia/ penurunan oksigenasi cerebral
 Kolaborasi
1)      Pemeriksaan AGD

Penurunan kadar O2 (PO2) dan / atau saturasi dan peningkatan PCO2 menunjukkan kebutuhan untuk intervensi / perubahan program terapi.
2)      Pemberian oksigen sesuai dengan kebutuhan tambahan.
Terapi oksigen dapat mengoreksi hipoksemia yang terjadi akibat penurunan ventilasi / menurunnya permukaan alveolar paru.
3)      Kortikosteroid
Berguna dalam maturitas paru.

4)      Pemberian surfaktan buatan
Meningkatkan ekspansi paru dan mencegah paru kolaps.























2.                  Resiko tinggi deficit volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan  sensible dan insensible.
Tujuan  : Anak dapat mempertahankan hidrasi yang adekuat
Kriteria hasil :
-          Turgor pada perut bagian depan kenyal , tidak ada edema, membran mukosa lembab , intake cairan sesuai dengan usia dan BB.
-          Output urin 1-2 ml/kg BB/jam, ubun-ubun datar, elektrolit ddarah dalam batas normal.



Intervensi
Rasional
Mandiri
1)         Berikan terapi intravena sesuai dengan anjuran dan berikan dosis pemeliharaan, selain itu berikan pula tindakan-tindakan  pencegahan

Selama fase akut, klien sering kali berada dalam kondisi yang terlalu lemah dan mengalami sesak napas yang parah. Untuk meminum cairan per oral secara adekuat dan mempertahankan hidrasi yang adekua, jika ada demam, maka kebutuhan akan cairan akan meningkat karena keringan yang berlebihan. Hal yang terjadi jika demam  membaik adalah meningkatnya penguapan karena vasodilatasi perifer, hal itu terjadi sebagai makanisme kompensasi yang digunakan oleh tubuh untuk mengeluarkan panas.
2)         Berikan susu dan cairan intravena sesuai kebutuhan.

Cairan  membantu distribusi obat-obatan dalam tubuh serta membantu menurunkan demam. Cairan bening membantu menambahkan  kalori serta menanggulangi kehilangan BB.
Kebutuhan kalori neonatus : 100 cc/BB



3.                  Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan menghisap, penurunan motilitas usus.
Tujuan : Mempertahankan dan mendukung intake nutrisi
Kriteria hasil:
-    Klien mendemonstrasikan intake makanan yang adekuat dan  metabolismetubuh.
-    Intake makanan meningkat, tidak ada penurunan BB lebih lanjut, menyatakan perasaan sejahtera.

Intervensi
Rasional
1)             Berikan cairan IV dengan kandungan glukosa sesuai kebutuhan  neonatus
Makanan porsi sedikit tapi sering memerlukan lebih sedikit energy.

2)         Mengidentifikasi factor yang menyebabkan sulit menelan
Untuk dapat memilih intervensi sesuai dengan penyebab
Kolaborasi
1)           Rujuk kepada ahli diet untuk membantu memilih cairan yang dapat memenuhi kebutuhan gizi .

Ahli diet adalah spesialisasi dalam ilmu gizi yang dapat membantu klien mimilih makanan yang memenuhi kebutuhan kalori dan kebutuhan gizi sesuai dengan keadaan sakitnya, usia, tinggi, berat badannya.

4.                  Koping keluarga inefektif berhubungan dengan ansietas, perasaan bersalah, dan perpisahan dengan bayi sebagai akibat situasi krisis
Tujuan   : Meminimalkan  kecemasan dan rasa bersalah, dan mendukung bounding antara orangtua dan infant

Kriteria hasil :
-          Keluarga klien mengungkapkan pengetahuan tentang penyakit yang diderita oleh pasien
-          Dapat melaporkan secepatnya kepada tim medis jika terjadi sesuatu mendadak terhadap pasien
-          Keluarga pasien bisa menstabilkan emosi.

Intervensi
Rasional
Mandiri
 1. Kaji respon verbal dan non verbal orangtua terhadap kecemasan dan penggunaan koping mekanisme
Hal ini akan membantu mengidentifikasi dan membangun strategi koping yang efektif
2.  Bantu orangtua mengungkapkan perasaannya secara verbal tentang kondisi sakit anaknya, perawatan yang lama pada unit intensive, prosedur dan pengobatan infant
Membuat orangtua bebas mengekpresikan perasaannya sehingga membantu menjalin rasa saling percaya, serta mengurangi tingkat kecemasan
3.  Berikan informasi yang akurat dan konsisten tentang kondisi perkembangan infant
Informasi dapat mengurangi kecemasan
4.  Bila mungkin, anjurkan orangtua untuk mengunjungi dan ikut terlibat dalam perawatan anaknya
Memfasilitasi proses bounding
5.  Rujuk pasien pada perawat keluarga atau komunitas
Rujukan untuk mempertahankan informasi yang adekuat, serta membantu orangtua menghadapi keadaan sakit kronis pada anaknya.
















BAB IV
PENUTUP

4.1                          Kesimpulan
Hialin membran disease merupakan idiophatic disease syndrome yang menyerang bayi yang baru lahir dengan masa kehamilan antara 28-36 minggu. Bayi dengan masa kehamilan antara 28-36 minggu, umumnya belum memiliki surfaktan yang mencukupi sehingga kesulitan untuk bernafas dan membutuhkan tambahan oksigen untuk bernafas.
Gejala yang menyertai antara lain dispnea atau hiperpnea, sianosis, retraksi  suprasternal, rintihan saat ekspirasi, melemahnya udara nafas yang masuk ke dalam paru. Pemeriksaan dapat dilakukan foto rontgen atau gambaran radiologis atau pemeriksaan laboratorium yaitu pemeriksaan kimia darah.
Pencegahan untuk hialin membran disease antara lain : Tindakan pencegahan utama sebenarnya adalah menghindari terjadinya kelahiran bayi prematur, Mengetahui maturitas paru dengan menghitung perbandingan lesitin dan sfengomielin dalam cairan amnion bila perbandingan antara lesitin dan sfengomielin kurang dari 2 maka berarti jumlah surfaktan pada penderita masih kurang, Pemberian kortikosteroid yang dilakukan pada persalinan prematur yang dapat ditunda selama 48 jam yang biasa dipakai berupa kortisol dengan dosis 12 mg/hari diberikan 2 hari berturut-turut, Pemberian satu dosis surfaktan ke dalam trakea bayi prematur segera sesudah lahir atau selama umur 24 jam.

4.2                          Saran dan Kritik
Setelah penulisan makalah ini, kami mengharapkan masyarakat pada umumnya dan mahasiswa keperawatan pada khususnya mengetahui lebih dalam mengenai hialin membran disease. Untuk mencegah komplikasi klien dapat diberikan tambahan oksigen untuk mempermudah pernafasan . Kepada para ibu yang sedang hamil juga diharapkan bisa menjaga kesehatan serta nutrisi sehingga penyakit hialin membran disease dapat dicegah.



DAFTAR PUSTAKA

http://askep-askeb-kita.blogspot.com/ [diakses hari rabu, tanggal 3 Maret 2010 jam 16.30 WIB]
Melson, A. Kathryn & Marie S. Jaffe, Maternal Infant Health Care Planning, Second Edition,    
                   Springhouse Corporation, Pennsylvania, 1994
pro-iklan-gratis.blogspot.com/.../askep-dengan-hyaline-membrane-disease
www.thebestlinks.com/.../gambaran-dada-pada-penyakit-membran-hialin.html  [diakses hari rabu,  tanggal 3 Maret 2010 jam 16.30]
   3 Maret 2010 jam 16.30]







1 komentar:

Anonim mengatakan...

Irrespective of receiving daily oral or future injectable depot therapies, these require health care visits for medication and monitoring of safety and response. If patients are treated early enough, before a lot of immune system damage has occurred, life expectancy is close to normal, as long as they remain on successful treatment. However, when patients stop therapy, virus rebounds to high levels in most patients, sometimes associated with severe illness because i have gone through this and even an increased risk of death. The aim of “cure”is ongoing but i still do believe my government made millions of ARV drugs instead of finding a cure. for ongoing therapy and monitoring. ARV alone cannot cure HIV as among the cells that are infected are very long-living CD4 memory cells and possibly other cells that act as long-term reservoirs. HIV can hide in these cells without being detected by the body’s immune system. Therefore even when ART completely blocks subsequent rounds of infection of cells, reservoirs that have been infected before therapy initiation persist and from these reservoirs HIV rebounds if therapy is stopped. “Cure” could either mean an eradication cure, which means to completely rid the body of reservoir virus or a functional HIV cure, where HIV may remain in reservoir cells but rebound to high levels is prevented after therapy interruption.Dr Itua Herbal Medicine makes me believes there is a hope for people suffering from,Parkinson's disease,Schizophrenia,Lung Cancer,Breast Cancer,psoriasis,Colo-Rectal Cancer,Blood Cancer,Prostate Cancer,siva.Fatal Familial Insomnia Factor V Leiden Mutation ,Epilepsy Dupuytren's disease,Desmoplastic small-round-cell tumor Diabetes ,Coeliac disease,Creutzfeldt–Jakob disease,Cerebral Amyloid Angiopathy, Ataxia,Arthritis,Amyotrophic Lateral Scoliosis,Fibromyalgia,Fluoroquinolone Toxicity
Syndrome Fibrodysplasia Ossificans ProgresSclerosis,Alzheimer's disease,Adrenocortical carcinoma.Asthma,Allergic diseases.Hiv_ Aids,Herpe ,Copd,Glaucoma., Cataracts,Macular degeneration,Cardiovascular disease,Lung disease.Enlarged prostate,Osteoporosis.Alzheimer's disease,
Dementia.(measles, tetanus, whooping cough, tuberculosis, polio and diphtheria),Chronic Diarrhea,
Hpv,All Cancer Types,Diabetes,Hepatitis,I read about him online how he cure Tasha and Tara so i contacted him on drituaherbalcenter@gmail.com / info@drituaherbalcenter.com. even talked on whatsapps +2348149277967 believe me it was easy i drank his herbal medicine for two weeks and i was cured just like that isn't Dr Itua a wonder man? Yes he is! I thank him so much so i will advise if you are suffering from one of those diseases Pls do contact him he's a nice man.

Posting Komentar