Pages

Selasa, 25 Oktober 2011

Askep Ca Cerviks

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Kanker serviks adalah penyakit akibat tumor ganas pada daerah mulut rahim sebagai akibat dari adanya pertumbuhan jaringan yang tidak terkontrol dan merusak jaringan normal di sekitarnya (FKUI, 1990; FKKP, 1997). Kanker Serviks merupakan pertumbuhan sel-sel mulut rahim/serviks yang abnormal dimana sel-sel ini mengalami perubahan kearah displasia atau mengarah keganasan. Kanker ini hanya menyerang wanita yang pernah atau sekarang dalam status sexually active. Tidak pernah ditemukan wanita yang belum pernah melakukan hubungan seksual pernah menderita kanker ini. Biasanya kanker ini menyerang wanita yang telah berumur, terutama paling banyak pada wanita yang berusia 35-55 tahun. Akan tetapi, tidak mustahil wanita yang muda pun dapat menderita penyakit ini, asalkan memiliki faktor risikonya.
Kanker serviks merupakan kanker pembunuh wanita nomor dua di dunia setelah kanker payudara. Setiap tahunnya, terdapat kurang lebih 500 ribu kasus baru kanker leher rahim (cervical cancer), sebanyak 80 persen terjadi pada wanita yang hidup di negara berkembang. Sedikitnya 231.000 wanita di seluruh dunia meninggal akibat kanker leher rahim. Dari jumlah itu, 50% kematian terjadi di negara-negara berkembang. Hal itu terjadi karena pasien datang dalam stadium lanjut. Menurut data Departemen Kesehatan RI, penyakit kanker leher rahim saat ini menempati urutan pertama daftar kanker yang diderita kaum wanita Indonesia. saat ini ada sekitar 100 kasus per 100 ribu penduduk atau 200 ribu kasus setiap tahunnya Kanker serviks yang sudah masuk ke stadium lanjut sering menyebabkan kematian dalam jangka waktu relatif cepat. Selain itu, lebih dari 70 persen kasus yang datang ke rumah sakit ditemukan dalam keadaan stadium lanjut.
Kanker serviks kebanyakan terjadi karena infeksi virus human papilloma tipe 16 dan 18. Proses perkembangan kanker serviks berlangsung lambat. Diawali dengan infeksi sehingga menyebabkan lesi di serviks. Perluasan lesi di serviks dapat
menimbulkan luka, pertumbuhan yang eksofitik atau dapat berinfiltrasi ke kanalis
serviks. Lesi dapat meluas ke forniks, jaringan pada serviks, parametria dan
akhirnya dapat menginvasi ke rektum dan atau vesika urinaria. Kanker serviks dapat meluas ke arah segmen bawah uterus dan kavum uterus.
Penyebaran kanker ditentukan oleh stadium dan ukuran tumor, jenis histologik
dan ada tidaknya invasi ke pembuluh darah, anemis hipertensi dan adanya
demam.
Dengan meningkatnya pelayanan kesehatan di Indonesia ini, diharapkan penyakit kanker serviks ini dapat menurun dengan berbagai cara pencegahan yang ada, antara lain menjalani pola makan sehat, menghindari seks sebelum menikah dan berhubungan seks dengan ganti-ganti pasangan, menjalani tes pap smear secara teratur, pemberian vaksin HPV untuk mencegah terinfeksi HPV, melakukan vagina toilet dengan benar.

1.2 Rumusan Masalah
a. Bagaimana anatomi dan fisiologi serviks?
b. Apa definisi kanker serviks?
c. Bagaimana klasifikasi kanker serviks?
d. Apa etiologi kanker serviks?
e. Bagaimana patofisiologi dari kanker serviks?
f. Apa saja manifestasi klinis dari kanker serviks?
g. Apa saja pemeriksaan diagnostik klien dengan kanker serviks?
h. Bagaimana penatalaksanaan klien dengan kanker serviks?
i. Bagaimana pencegahan dari kanker serviks?
j. Bagaimana prognosis dari klien dengan kanker serviks?
k. Bagaimana asuhan keperawatan pasien dengan kanker serviks?

1.3 Tujuan
Tujuan Umum
Mahasiswa dapat mengetahui dan melakukan askep klien dengan kanker serviks.

Tujuan Khusus
a. Mengetahui anatomi dan fisiologi serviks.
b. Mengetahui definisi kanker serviks.
c. Mengetahui etiologi kanker serviks.
d. Mengetahui patofisiologi dari kanker serviks.
e. Mengetahui manifestasi klinis kanker serviks.
f. Mengetahui pemeriksaan diagnostik pada kanker serviks.
g. Mengetahui penatalaksanaan klien dengan kanker serviks.
h. Mengetahui pencegahan dari kanker seviks.
i. Mengetahui prognosis klien dengan kanker serviks.
j. Menjelaskan asuhan keperawatan pasien dengan kanker serviks.

1.4 Manfaat
a. Mendapatkan pengetahuan tentang kanker serviks.
b. Mendapatkan pengetahuan tentang asuhan keperawatan pada klien dengan kanker serviks.
c. Dapat menerapkan asuhan keperawatan pada klien dengan kanker serviks.















BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1 Anatomi dan fisiologi serviks
a. Anatomi Reproduksi wanita
 Alat Genetalia Luar
- Tundum (Monsveneris)
- Labia Mayora (Bibir Besar)
- Labia Minora (Bibir Kecil)
- Klitoris
- Vestibulum
- Hymen (Selaput DAra)
- Perineum
 Alat Genetalia Dalam
- Vagina
- Uterus (rahim)
Organ yang tebal berotot berbentuk buah pir, terletak didalam pelvis antara rectum dibelakang dan kandung kemih di depan, ototnya disebut miometrium. Uterus terapung di dalam pelvis dengan jaringan ikat dan ligament. Panjang uterus lebih kurang 7,5 cm, lebar 5 cm, tebal 2,5 cm, berat 50 gram. Pada rahim wanita dewasa yang belum pernah menikah atau bersalin panjang uterus adalah 5-8 cm dan beratnya 30-60 gram.
Uterus terdiri dari :
1. Fundus Uteri (Dasar Rahim), yaitu bagian uterus yang terletak antara kedua pangkal saluran telur
2. Korpus Uteri, yatitu bagian uterus yang terbesar pada kehamilan, bagian ini berfungsi sebgai tempat janin berkembang. Rongga yang terdapat dalam pada korpus uteri disebut cavum uteri atau rongga rahim.
3. Servik Uteri, yaitu ujung servik yang menuju puncak vagina disebut portio, hubungan antara cavum uteri dan canalis cervikalis disebut ostium uteri internum. Panjang servik sekitar 2,5 – 3 cm. Servik utama disusun oleh jaringan ikat fibrosa serta sejumlah kecil serabut otot dan jaringan elastis. Muara sempit antara cavum uteri dan kanal endoservik (kanal didalam servik yang menghubungkan cavum uteri dengan vagina) disebut ostium interna. Muara sempit antara endoserviks dan vagina disebut ostium eksterna, suatu sirkular pada wanita yang belum pernah melahirkan.
Sel-sel mulut rahim umumnya merupakan sel gepeng, sedangkan sel-sel di lain rahim umumnya sel-sel berbentuk kelenjar.


b. Fisiologi
Fungsi servik uteri adalah sebagai berikut :
1. Jalan keluar janin
Serviks memiliki kemampuan meregang saat melahirkan anak per vagina. Factor yang berperan pada elastisitas serviks adalah jaringan ikat yang banyak dan kandungan serabut elastis, lipatan dalam lapisan endoserviks dan 10 % serabut otot.
2. Akomodasi Sperma
Kelenjar serviks menghasilkan cairan, agar sperma dapat mencapai ovum. Ketika masuk kedalam vagina, sperma membutuhkan kelembaban, pH tertentu agar dapat bertahan hidup serta sampai ke ovum.
3. Sekresi cairan oleh kelenjar bartolini, yang ada di endometrium
Cairan ini berfungsi sebagai pelumas ketika coitus, agar permukaan vagina tidak lecet, serta menjaga pH vagina dalam rentan yang optimal bagi pertumbuhan flora normal.

2.2 Definisi
Kanker serviks adalah penyakit akibat tumor ganas pada daerah mulut rahim sebagai akibat dari adanya pertumbuhan jaringan yang tidak terkontrol dan merusak jaringan normal di sekitarnya (FKUI, 1990; FKKP, 1997).
Kanker serviks adalah suatu proses keganasan yang terjadi pada serviks,
sehingga jaringan disekitarnya tidak dapat melaksanak an fungsi sebagaimana
mestinya. Keadaan tersebut biasanya disertai dengan adanya perdarahan dan
pengeluaran cairan vagina yang abnormal, penyakit ini dapat terjadi berulang -
ulang (Prayetni, 1997).
Kanker Serviks adalah pertumbuhan sel-sel mulut rahim/serviks yang abnormal dimana sel-sel ini mengalami perubahan kearah displasia atau mengarah keganasan. Kanker ini hanya menyerang wanita yang pernah atau sekarang dalam status sexually active. Tidak pernah ditemukan wanita yang belum pernah melakukan hubungan seksual pernah menderita kanker ini. Biasanya kanker ini menyerang wanita yang telah berumur, terutama paling banyak pada wanita yang berusia 35-55 tahun. Akan tetapi, tidak mustahil wanita yang muda pun dapat menderita penyakit ini, asalkan memiliki faktor risikonya.
Jadi menurut kelompok kami, kanker serviks merupakan kanker/pertumbuhan sel-sel yang terjadi di serviks atau mulut rahim yang terletak di bagian internal alat reproduksi wanita, dimana terletak di bagian terdepan dari rahim yang menonjol ke dalam vagina. Kanker serviks ini sebagian besar disebabkan oleh paparan HPV tipe 16 dan 18, dan juga bisa disebabkan katera pola hygine yang buruk.


Gambar 2.2a: kanker serviks Gambar 2.2b: kanker serviks

2.3 Etiologi
a. Penyebab langsung kanker serviks belum diketahui. Namun ada beberapa factor ekstrinsik yang diduga berhubungan dengan insiden kanker servik adalah sebagai berikut:
Human Papiloma Virus (HPV)
Infeksi HPV risiko tinggi merupakan faktor etiologi kanker serviks. Pendapat ini ditunjang oleh berbagai penelitian. Penelitian yang dilakukan oleh International Agency for Research on Cancer (IARC) terhadap 1000 sampel dari 22 negara mendapatkan adanya infeksi HPV pada sejumlah 99,7% kanker serviks. Penelitian meta-analisis yang meliputi 10000 kasus didapatkan 8 tipe HPV yang banyak ditemukan, yaitu tipe 16, 18, 45, 31, 33, 52, 58 dan 35. Penelitian kasus kontrol dengan 2500 kasus karsinoma serviks dan 2500 perempuan yang tidak menderita kanker serviks sebagai kontrol, deteksi infeksi HPV pada penelitian tersebut dengan pemeriksaan PCR. Total prevalensi infeksi HPV pada penderita kanker serviks jenis karsinoma sel skuamosa adalah 94,1%. Prevalensi infeksi HPV pada penderita kanker serviks jenis adenokarsinoma dan adenoskuamosa adalah 93%. Penelitian pada NIS II/III mendapatkan infeksi HPV yang didominasi oleh tipe 16 dan 18. Progresivitas menjadi NIS II/III setelah menderita infeksi HPV berkisar 2 tahun. (Munoz N, Castellsague X, de Gonzalez AB, Gissmann L. HPV in the etiology of human cancer. Vaccine 2006)
HPV yang merupakan faktor inisiator dari kanker serviks yang menyebabkan terjadinya gangguan sel serviks. Onkoprotein E6 dan E7 yang berasal dari HPV merupakan penyebab terjadinya degenerasi keganasan. Integrasi DNA virus dengan genom sel tubuh merupakan awal dari proses yang mengarah transformasi. Integrasi DNA virus dimulai pada daerah E1-E2. Integrasi menyebabkan E2 tidak berfungsi, tidak berfungsinya E2 menyebabkan rangsangan terhadap E6 dan E7 yang akan menghambat p53 dan pRb. Hambatan kedua TSG menyebabkan siklus sel tidak terkontrol, perbaikan DNA tidak terjadi, dan apoptosis tidak terjadi. (Kaufman RH, Adam E, Vonka V, 2000)
HPV tipe 16 dan 18 ditemukan pada sejumlah 70% kanker serviks, sedangkan tipe 16, 18, 33, 45, 31, 58, 52, dan 35 ditemukan pada sejumlah 90% kanker serviks. Tiga belas tipe HPV (16, 18, 31, 58, 33, 52, 35, 51, 56, 45, 39, 66, 6), pada metaanalisis, dijumpai pada HSIL. Pada LSIL ditemukan HPV tipe 16 (26%), 31 (12%), 51 (11%), 53 (10%). 56 (10%), 52 (9%), 18 (9%), 66 (9%), 58 (8%), dan tipe lainnya 5%.

b. Faktor Predisposisi yang berhubungan dengan kanker serviks adalah ;
1. Faktor Genetik ( Onkogen, mutasi P53 dan Rb, Radiasi, mutasi gen supresor tumor)
2. Faktor Lingkungan
Sanitasi lingkungan yang jelek, paparan radiasi, polusi, dan keracunan zat kimia.
3. Perilaku Seksual (melakukan seks dini dan sering berganti pasangan)
Hubungan seks idealnya dilakukan setelah seorang wanita benar-benar matang. Ukuran kematangan bukan hanya dilihat dari ia sudah menstruasi atau belum. Tapi juga bergantung pada kematangan sel-sel mukosa; yang terdapat diselaput kulit bagian dalam rongga tubuh. Umumnya sel-sel mukosa baru matang setelah wanita tersebut berusia 20 tahun ke atas. Jadi, seorang wanita yang menjalin hubungan seks pada usia remaja; paling rawan bila dilakukan di bawah usia 16 tahun. Hal ini berkaitan dengan kematangan sel-sel mukosa pada serviks si wanita. “Pada usia muda, sel-sel mukosa pada serviks belum matang. Artinya, masih rentan terhadap rangsangan sehingga tak siap menerima rangsangan dari luar. Termasuk zat-zat kimia yang dibawa sperma.” Lain hal bila hubungan seks dilakukan kala usia sudah di atas 20 tahun, dimana sel-sel mukosa tak lagi terlalu rentan terhadap perubahan. Karena masih rentan, sel-sel mukosa bisa berubah sifat menjadi kanker. Sifat sel,selalu berubah setiap saat; mati dan tumbuh lagi. Karena ada rangsangan, bisa saja sel yang tumbuh lebih banyak dari sel yang mati, sehingga perubahannya tak seimbang lagi. Kelebihan sel ini akhirnya bisa berubah sifat menjadi sel kanker.
Kanker serviks bias juga muncul pada wanita yang berganti-ganti pasangan seks. Bila berhubungan seks hanya dengan pasangannya, dan pasangannya pun tak melakukan hubungan seks dengan orang lain, maka tidak akan mengakibatkan kanker serviks. Bila berganti-ganti pasangan, hal ini terkait dengan kemungkinan. tertularnya penyakit kelamin, salah satunya Human Papilloma Virus (HPV). Virus ini akan mengubah sel-sel di permukaan mukosa hingga membelah menjadi lebih banyak. Bila terlalu banyak dan tidak sesuai dengan kebutuhan, tentu akan menjadi kanker.
4. Sosial Ekonomi
Karsinoma serviks banyak dijumpai pada golongan sosial ekonomi rendah mungkin faktor sosial ekonomi erat kaitannya dengan gizi, imunitas dan kebersihan perseorangan. Pada golongan sosial ekonomi rendah umumnya kuantitas dan kualitas makanan kurang hal ini mempengaruhi imunitas tubuh.
5. Hygiene dan sirkumsisi
Diduga adanya pengaruh mudah terjadinya kankers serviks pada wanita yang pasangannya belum disirkumsisi. Hal ini karena pada pria non sirkum hygiene penis tidak terawat sehingga banyak kumpulan-kumpulan mikroorganisme
6. Nutrisi
Banyak sayur dan buah mengandung bahan-bahan antioksidan dan berkhasiat mencegah kanker misalnya advokat, brokoli, kol, wortel, jeruk, anggur, bawang, bayam, tomat. Dari beberapa penelitian ternyata defisiensi asam folat (folic acid), vitamin C, vitamin E, beta karoten/retinol dihubungkan dengan peningkatan risiko kanker serviks. Vitamin E, vitamin C dan beta karoten mempunyai khasiat antioksidan yang kuat. Antioksidan dapat melindungi DNA/RNA terhadap pengaruh buruk radikal bebas yang terbentuk akibat oksidasi karsinogen bahan kimia. Vitamin E banyak terdapat dalam minyak nabati (kedelai, jagung, biji-bijian dan kacang-kacangan). Vitamin C banyak terdapat dalam sayur-sayuran dan buah-buahan

7. Merokok dan AKDR (alat kontrasepsi dalam rahim)
Tembakau mengandung bahan-bahan karsinogen baik yang dihisap sebagai rokok/sigaret atau dikunyah. Asap rokok menghasilkan polycyclic aromatic hydrocarbon heterocyclic nitrosamines. Pada wanita perokok konsentrasi nikotin pada getah serviks 56 kali lebih tinggi dibandingkan di dalam serum. Efek langsung bahan-bahan tersebut pada serviks adalah menurunkan status imun lokal sehingga dapat menjadi kokarsi nogen infeksi virus.
8. Kontrasepsi
Kondom dan diafragma dapat memberikan perlindungan. Kontrasepsi oral yang dipakai dalam jangka panjang yaitu lebih dari 5 tahun dapat meningkatkan risiko relatif 1,53 kali. WHO melaporkan risiko relatif pada pemakaian kontrasepsi oral sebesar 1,19 kali dan meningkat sesuai dengan lamanya pemakaian
9. Hormon
Risiko yang sama akan terjadi pada wanita yang terlambat menopause. Karena rangsangan terhadap endometrium akan lebih lama, sehingga endometriumnya akan lebih sering terpapar estrogen. Sehingga , sangat memungkinkan terjadi kanker. Tidak heran bila wanita yang memakai estrogen tak terkontrol sangat memungkinkan terkena kanker. Umumnya wanita yang telah menopause di negara maju menggunakan estrogen untuk mencegah osteroporosis dan serangan jantung. Namun, pemakaiannya sangat berisiko karena estrogen merangsang semakin menebalnya dinding endometrium dan merangsang sel-sel endometrium sehingga berubah sifat menjadi kanker. Sebaiknya penggunaan hormon estrogen harus atas pengawasan dokter agar sekaligus juga diberikan zat antinya, sehingga tidak berkembang jadi kanker.



2.4 Jenis-jenis Kanker Serviks
a. Berdasarkan bentuk makroskopis :
1. Tumor menonjol eksofitik (Fungating), yang dimulai dengan penebalan nodular dari epitel adakalanya seperti kembang kol (Cauliflowler-like) yang menonjol disekitarnya.
2. Bentuk Ulseratif, yang ditandai denagn terlepasnya jaringan nekrotik dibagian tengah tumor tersebut.
3. Bentuk Infiltratif, bentuk ini jarang dijumpai. Cenderung tumbuh kedalam jaringan stoma dibawahnya daripada tumbuh dipermukaan.
(Robins dan Kumar, 1995)

b. Berdasarkan gambaran histology :
1. Karsinoma sel skuamosa
Adalah pertumbuhan sel lempeng baru yang ganas, terdiri dari sel-sel epitel yang cenderung menginfiltrasi jaringan sekitar dan menimbulkan metastasis.
2. Adenokarsinoma
Adalah karsinoma yang berasal dari jaringan kelenjar atau karsinoma yang selnya membentuk struktur yang dapat dikenali sebagai kelenjar.
3. Karsinoma Adenoskuamosa
Adalah adenokarsinoma yang sebagian selnya menunjukkan diferensisasi lempeng.

2.5 Klasifikasi
Klasifikasi Kanker Serviks menurut FIGO 1978
Tingkat Kriteria
0 Karsinoma In Situ ( KIS), membran basalis utuh
I Proses terbatas pada servks walaupun ada perluasan ke korpus uteri
I a Karsinoma mikro invasif, bila membran basalis sudah rusak dan sel tumor sudah stroma tidak > 3 mm, dan sel tumor tidak tedapat didalam pembuluh limfe atau pembuluh darah.
I b Secara klinis tumor belum tampak sebagai karsinoma, tetapi pada pemeriksaan histologi ternyata sel tumor telah mengadakan invasi stroma melebihi Ia
II Proses keganasan telah keluar dari serviks dan menjalar 2/3 bagian atas vagina dan parametrium, tetapi tidak sampai dinding panggul
II a Penyebaran hanya ke vagina, parametrium masih bebas dari infitrat tumor
II b Penyebaran ke parametrum, uni atau bilateral, tetapi belum sampai dinding panggul
III a Penyebaran sampai ½ bagian distal vagina, sedang parametrium tidak dipersoalkan asal tidak sampai dinding panggul.
III b Penyebaran sudah sampai dinding panggul, tidak ditemukan daerah infiltrat antara tumor dengan dinding panggul.
IV Proses keganasan telah keluar dari panggul kecil dan melibatkan mokusa rektum dan atau vesika urinaria atau telah bermetastasi keluar panggul ketempat yang jauh
IV a Proses sudah sampai mukosa rektum dan atau vesika urinaria atau sudah keluar dari pangul kecil, metastasi jauh belum terjadi
IV b Telah terjadi metastasi jauh.

2.6 Patofisiologi
Kanker serviks umumnya tumbuh dari sel gepeng dari mulut rahim ataupun sel kelenjar dari sel rahim. Jenis kanker serviks yang berasal dari sel gepeng diderita oleh wanita yang sudah melakukan hubungan intim, tetapi beberapa jenis kanker serviks dapat pula diderita oleh wanita yang belum pernah melakyukan hubungan intim. Salah satu penyebab dari kanker serviks adalah inveksi dari human papiloma virus (HPV) tipe 16 dan 18. Produk protein HPV 16 yaitu E7, sedangkan HPV 18 yaitu E6. E6 akan mengikat p53 sehingga Tumor suppressor gene (TSG) p53 akan kehilangan fungsinya. Sedangkan onkoprotein E7 akan mengikat TSG Rb, ikatan ini menyebabkan terlepasnya E2F, yang merupakan faktor transkripsi sehingga siklus sel berjalan tanpa kontrol.
Karsinoma in situ pada serviks adalah keadaan dimana sel-sel neoplastik terdapat pada seluruh lapisan epitel. Perubahan pra kanker lain yang tidak sampai melibatkan seluruh lapisan epitel serviks, disebut displasia yang dibagi menjadi ringan, sedang dan berat. Displasia adalah neoplasia servikal intraepitelial (CIN). Tingkatannya adalah CIN 1 (displasia ringan) pada tahap ini epitel serviks yang lazim atu pada kondiloma yang rata ditandai dengan perubahan koilositosis. CIN 2 (displasia sedang). CIN 3 (displasia berat dan karsinoma in situ). Tidak ada gejala yang spesifik untuk kanker serviks. Perdarahan merupakan satu-satunya gejala yang nyata, tetapi sering tidak terjadi pada awal penyakit sehingga kanker sudah lanjut pada saat ditemukan.
Tahap berikutnya adalah karsinoma serviks invasive dimana terjadi jika tumor menembus epitel masuk kedalam stroma serviks. Invasi dapat terjadi pada beberapa tempat sekaligus dimana sel-sel tumor meluas ke dalam jaringan ikat dan akhirnya menembus pembuluh limfe dan vena. Karsinoma serviks invasif dapat menginvasi atau meluas ke dinding vagina, ligamentum kardinale, dan rongga endometrium; invasi kelenjar limfe dan pembuluh darah dapat menyebabkan metastasis ketempat-tempat yang jauh. Metastase juga dapat menyebar ke jaringan syraf sehingga menimbulkan rasa nyeri bagi penderita.
Penanganan karsinoma serviks invasif dapat berupa radioterapi atau histerektomi radikal dengan mengangkat uterus, tuba, ovarium, sepertiga atas dari vagina, dan kelenjar limfe panggul. Jika kelenjar limfe aorta terkena, maka juga diperlukan kemoterapi.

2.7 Manifestasi Klinis
a. Keputihan atau keluar cairan encer dari vagina. Getah yang keluar dari vagina ini makin lama akan berbau busuk akibat infeksi dan nekrosis jaringan
b. Perdarahan setelah sanggama (post coital bleeding) yang kemudian berlanjut menjadi perdarahan yang abnormal.
c. Timbulnya perdarahan setelah masa menopause.
d. Pada fase invasif dapat keluar cairan berwarna kekuning-kuningan, berbau dan dapat bercampur dengan darah.
e. Timbul gejala-gejala anemia bila terjadi perdarahan kronis.
f. Timbul nyeri panggul (pelvis) atau di perut bagian bawah bila ada radang panggul. Bila nyeri terjadi di daerah pinggang ke bawah, kemungkinan terjadi hidronefrosis. Selain itu, bisa juga timbul nyeri di tempat-tempat lainnya.
g. Pada stadium lanjut, badan menjadi kurus kering karena kurang gizi, edema kaki, timbul iritasi kandung kencing dan poros usus besar bagian bawah (rectum), terbentuknya fistel vesikovaginal atau rektovaginal, atau timbul gejala-gejala akibat metastasis jauh.

2.8 Pemeriksaan Diagnostik
a. Sitologi / Pap Smear (Papanicolaou smear)
Tes Pap Smear : Tes ini merupakan penapisan untuk mendeteksi infeksi HPV dan prakanker serviks. Ketepatan diagnostik sitologinya 90% pada displasia keras (karsinoma in situ) dan 76% pada dysplasia ringan / sedang. Didapatkan hasil negatif palsu 5-50% sebagian besar disebabkan pengambilan sediaan yang tidak adekuat. Sedangkan hasil positif palsu sebesar 3-15%. Metode tes Pap smear yang umum yaitu dokter menggunakan pengerik atau sikat untuk mengambil sedikit sampel sel-sel serviks atau leher rahim. Kemudian sel-sel tersebut akan dianalisa di laboratorium. Tes itu dapat menyingkapkan apakah ada infeksi, radang, atau sel-sel abnormal. Menurut laporan sedunia, dengan secara teratur melakukan tes Pap smear telah mengurangi jumlah kematian akibat kanker serviks.


b. Kolposkopi
Jika semua hasil tes pada metode sebelumnya menunjukkan adanya infeksi atau kejanggalan, prosedur kolposkopi akan dilakukan dengan menggunakan alat yang dilengkapi lensa pembesar untuk mengamati bagian yang terinfeksi. Tujuannya untuk menentukan apakah ada lesi atau jaringan yang tidak normal pada serviks atau leher rahim. Jika ada yang tidak normal, biopsi — pengambilan sejumlah kecil jaringan dari tubuh — dilakukan dan pengobatan untuk kanker serviks segera dimulai.




c. Servikografi
Servikografi terdiri dari kamera 35 mm dengan lensa 100 mm dan lensa ekstensi 50 mm. fotografi diambil oleh dokter, perawat,atau tenaga kesehatan lainnya, dan slide (servikogram) dibaca oleh yang mahir dengan kolposkop. Disebut negatif atau curiga jika tidak tampak kelainan abnormal, tidak memuaskan jika SSK tidak tampak seluruhnya dan disebut defek secara teknik jika servikogram tidak dapat dibaca (faktor kamera atau flash). Kerusakan (defect) secara teknik pada servikogram kurang dari 3 %. Servikografi dapat dikembangkan sebagai skrining kolposkopi. Dengan demikian servikografi dapat digunakan sebagai metoda yang baik untuk skrining massal, lebih-lebih di daerah di mana tidak ada seorang spesialis sitologi.

d. Pemeriksaan visual langsung / IVA
IVA yaitu singkatan dari Inspeksi Visual dengan Asam asetat. Metode pemeriksaan dengan mengoles serviks atau leher rahim dengan asam asetat. Kemudian diamati apakah ada kelainan seperti area berwarna putih. Jika tidak ada perubahan warna, maka dapat dianggap tidak ada infeksi pada serviks. Anda dapat melakukan di Puskesmas dengan harga relatif murah. Ini dapat dilakukan hanya untuk deteksi dini. Jika terlihat tanda yang mencurigakan, maka metode deteksi lainnya yang lebih lanjut harus dilakukan.



e. Gineskopi
Teropong monocular, ringan, pembesaran 2.5 x (lebih sederhana dari kolposkopi)

f. Pap net (Pemeriksaan terkomputerisasi dengan hasil lebih sensitive)
Pengambilan lendir leher rahim sama seperti papsmear konvensional, tetapi dengan bantuan teknologi neural network dalam penganalisaannya. Analisis akhir tetap ditentukan oleh ahli sitologi. Namun dengan bantuan komputer, kelainan yang pada pemeriksaan papsmear konvensional tidak terlihat, kini bisa jelas tergambar.

2.9 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Medis
2.9.1 Pembedahan (Operasi)
Pada kanker serviks yang telah terdeteksi dini umumnya dilakukan operasi. Beberapa jenis operasi dapat dilakukan, namun pilihan terakhir tergantung dari faktor yang dipertimbangkan oleh dokter, terutama stadium dan ukuran kanker.
Jenis-jenis Pembedahan :
a. Cervical conization
Conization artinya operasi pengangkatan kanker dari serviks. Conization hanya untuk kanker yang telah terdeteksi dini. Prosedur ini dipilih wanita dengan kanker yang sangat kecil dan ingin mempertahankan kesuburan.
b. Histerektomi vaginal atau abdominal
Pada histerektomi vaginal, uterus dan serviks diangkat melalui vagina. Sedangkan pada histerektomi abdominal, uterus dan serviks diangkat melalui pembedahan pada abdominal.
c. Histerektomi radikal abdominal
Prosedur ini memerlukan pembedahan abdominal. Istilah radikal menggambarkan uterus dan jaringan antara uterus dan dinding panggul, sebagai bagian atas vagina, diangkat. Kelenjar getah bening di panggul juga diangkat dan akan diperiksa untuk menentukan apakah kanker telah menyebar (radical pelvic lymphadenectomy).
d. Radical trachelectomy
Prosedur terbaru yang masih dalam pengembangan. Serviks dan jaringan di sekitarnya diangkat, namun bagian atas uterus dipertahankan untuk mempersiapkan kehamilan. Prosedur ini hanya dilakukan secara hati-hati pada beberapa wanita pada beberapa pusat medis besar.

Efek Samping Operasi
a. Efek samping jangka pendek (beberapa hari sampai minggu setelah operasi):
 Mual
 Ketidaknyamanan menggunakan kateter dan alat bantu lain
 Sulit berkemih sehingga jika perlu dipasang kateter di kandung kemih selama beberapa hari sampai minggu
 Rasa sakit di sekitar tempat pembedahan
 Kram
 Keluar cairan atau perdarahan vagina
b. Efek samping jangka panjang (beberapa minggu sampai bulan):
 Rasa lelah
 Sulit berkemih
 Konstipasi
 Penyempitan vagina

Beberapa langkah dilakukan untuk meminimalkan efek samping ini (seperti penggunaan kateter di kandung kemih). Wanita yang mendapat histerektomi akan berhenti menstruasi dan tidak akan bisa mempunyai anak. Kadar hormon akan sama jika ovarium masih ada atau akan terjadi menopause jika ovarium diangkat. Terapi hormon untuk mengatasi masalah menopause merupakan pilihan setelah ovarium diangkat.


2.9.2 Terapi Radiasi
Terapi radiasi (radioterapi) menggunakan x-ray energi tinggi atau jenis radiasi lain untuk membunuh sel kanker dan menghentikan perkembangannya. Terapi radiasi dapat menjadi pengobatan yang efektif untuk kanker serviks stadium awal. Pada kanker serviks stadium awal, radiasi lebih digunakan sebagai pengobatan tambahan setelah operasi untuk pasien dengan resiko tinggi relaps. Dokter juga menggunakan radiasi untuk kanker lebih besar dan stadium lebih tinggi. Kebutuhan terapi radiasi ditentukan oleh stadium, pemeriksaan, dan waktu operasi.
Terapi radiasi kanker serviks umumnya diberikan dengan kombinasi kemoterapi. Ada dua jenis terapi radiasi yang digunakan untuk kanker serviks, yaitu:
1. Terapi radiasi eksternal, menggunakan mesin yang diarahkan langsung ke bagian tubuh tertentu. Biasanya terapi diberikan setiap 5 hari dalam satu minggu dan dilakukan selama sekitar 6 minggu.
2. Terapi radiasi internal (brachytherapy), menempatkan kapsul kecil berisi materi radioaktif ke dalam vagina atau dekat serviks. Prosedur ini kadang dilakukan pasien rawat jalan dan kadang perlu di rawat di RS selama 1-2 hari. Obat dapat diberikan untuk mengurangi ketidaknyamanan prosedur ini.

Efek Samping Radiasi
Efek samping radiasi tergantung dosis yang digunakan dan bagian tubuh yang diradiasi. Kebanyakan efek samping ini bersifat sementara. Tidak semua orang mengalaminya. Beberapa efek samping untuk pasien kanker serviks yaitu:
a. Kulit kering dan merah di area radiasi
b. Rasa lelah
c. Anemia
d. Diare dan mual
e. Ketidaknyamanan berkemih
Efek samping jangka pendek:
a. Penyempitan vagina dan kehilangan lubrikasi
b. Frekuensi berkemih
c. Diare (kolitis radiasi menopause dini atau tiba-tiba (jika ovarium berhenti bekerja)
2.9.3 Kemoterapi
Kemoterapi adalah proses pengobatan dengan menggunakan obat-obatan yang bertujuan untuk membunuh atau memperlambat pertumbuhan sel kanker. Banyak obat yang digunakan dalam kemotarapi.
Pola Kemoterapi yang umum di gunakan :
1. Kemoterapi Induksi
Ditujukan untuk secepat mungkin mengecilkan massa tumor atau jumlah sel kanker, contoh pada tomur ganas yang berukuran besar (Bulky Mass Tumor) atau pada keganasan darah seperti leukemia atau limfoma, disebut juga dengan pengobatan penyelamatan.
2. Kemoterapi Adjuvan
Biasanya diberikan sesudah pengobatan yang lain seperti pembedahan atau radiasi, tujuannya adalah untuk memusnahkan sel-sel kanker yang masih tersisa atau metastase kecil yang ada (micro metastasis).
3. Kemoterapi Primer
Dimaksudkan sebagai pengobatan utama pada tumor ganas, diberikan pada kanker yang bersifat kemosensitif, biasanya diberikan dahulu sebelum pengobatan yang lain misalnya bedah atau radiasi.
4. Kemoterapi Neo-Adjuvan
Diberikan mendahului/sebelum pengobatan /tindakan yang lain seperti pembedahan atau penyinaran kemudian dilanjutkan dengan kemoterapi lagi. Tujuannya adalah untuk mengecilkan massa tumor yang besar sehingga operasi atau radiasi akan lebih berhasil guna.

a) Manfaat kemoterapi adalah:
1. Pengobatan
Beberapa jenis kanker dapat disembuhkan secara tuntas dengan satu jenis kemoterapi atau beberapa jenis kemoterapi.
2. Kontrol
Kemoterapi ada yang bertujuan untuk menghambat perkembangan kanker agar tidak bertambah besar atau menyebar ke jaringan lain.
3. Mengurangi gejala
Bila kemotarapi tidak dapat menghilangkan kanker, maka kemoterapi yang diberikan bertujuan untuk mengurangi gejala yang timbul pada pasien, seperti meringankan rasa sakit dan memberi perasaan lebih baik serta memperkecil ukuran kenker pada daerah yang diserang.

b) Pemberian Kemoterapi
Kemoterapi dapat diberikan dengan cara infus, suntikan langsung (otot, bawah kulit, rongga tubuh) dan cara diminum (tablet/kapsul). Kemoterapi dapat diberikan di rumah sakit atau klinik. Kadang perlu menginap, tergantung jenis obat yang digunakan. Jenis dan jangka waktu kemoterapi tergantung pada jenis kanker dan obat yang digunakan.

c) Efek Samping Kemoterapi
Efek samping dapat muncul ketika sedang dilakukan pengobatan atau beberapa waktu setelah pengobatan. Efek samping yang bisa timbul adalah:
1. Lemas
Efek samping yang umum timbul. Timbulnya dapat mendadak atau perlahan. Tidak langsung menghilang dengan istirahat, kadang berlangsung hingga akhir pengobatan.
2. Mual dan Muntah
Ada beberapa obat kemoterapi yang lebih membuat mual dan muntah. Selain itu ada beberapa orang yang sangat rentan terhadap mual dan muntah. Hal ini dapat dicegah dengan obat anti mual yang diberikan sebelum/selama/sesudah pengobatan kemoterapi. Mual muntah dapat berlangsung singkat ataupun lama.
3. Gangguan pencernaan
Beberapa jenis obat kemoterapi berefek diare. Bahkan ada yang menjadi diare disertai dehidrasi berat yang harus dirawat. Sembelit kadang bisa terjadi.
4. Sariawan
Beberapa obat kemoterapi menimbulkan penyakit mulut seperti terasa tebal atau infeksi. Kondisi mulut yang sehat sangat penting dalam kemoterapi
5. Rambut Rontok
Kerontokan rambut bersifat sementara, biasanya terjadi dua atau tiga minggu setelah kemoterapi dimulai. Dapat juga menyebabkan rambut patah di dekat kulit kepala. Dapat terjadi setelah beberapa minggu terapi. Rambut dapat tumbuh lagi setelah kemoterapi selesai.
6. Otot dan Saraf
Beberapa obat kemoterapi menyebabkan kesemutan dan mati rasa pada jari tangan atau kaki serta kelemahan pada otot kaki. Sebagian bisa terjadi sakit pada otot.
7. Efek Pada Darah
Beberapa jenis obat kemoterapi dapat mempengaruhi kerja sumsum tulang yang merupakan pabrik pembuat sel darah, sehingga jumlah sel darah menurun. Yang paling sering adalah penurunan sel darah putih (leokosit). Penurunan sel darah terjadi pada setiap kemoterapi dan tes darah akan dilaksanakan sebelum kemoterapi berikutnya untuk memastikan jumlah sel darah telah kembali normal. Penurunan jumlah sel darah dapat mengakibatkan:
- Mudah terkena infeksi
Hal ini disebabkan oleh Karena jumlah leokosit turun, karena leokosit adalah sel darah yang berfungsi untuk perlindungan terhadap infeksi. Ada beberapa obat yang bisa meningkatkan jumlah leokosit.
- Perdarahan
Keping darah (trombosit) berperan pada proses pembekuan darah. Penurunan jumlah trombosit mengakibatkan perdarahan sulit berhenti, lebam, bercak merah di kulit.
- Anemia
Anemia adalah penurunan jumlah sel darah merah yang ditandai oleh penurunan Hb (hemoglobin). Karena Hb letaknya di dalam sel darah merah. Akibat anemia adalah seorang menjadi merasa lemah, mudah lelah dan tampak pucat.
8. Kulit dapat menjadi kering dan berubah warna. Lebih sensitive terhadap matahari. Kuku tumbuh lebih lambat dan terdapat garis putih melintang.

d) Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan untuk menentukan jenis kemoterapi yang diberikan adalah:
• Biaya atau harga dari kemoterapi tersebut.
• Fasilitas yang memadai; kemungkinan untuk kontrol dan pengawasan.
• Protokol kemoterapi.
• Keadaan umum tubuh dan adanya penyakit atau kelemahan lain yang menyertai.

Penatalaksanaan berdasarkan stadium
Tingkat Penatalaksanaan
0 Biopsi kerucut
I a Histerektomi trasnsvaginal
I b dan II a Histerektomi radikal
II b, III, dan IV Histerektomi trasnsvaginal
IV a dan IV b Histerektomi radikal dengan limfadenektomi panggul dan evaluasi kelenjar limfe paraorta (bila terdapat metastasis dilakukan radiologi pasca pembedahan)
Histerektomi transvaginal
Radioterapi
Radiasi paliatif
Kemoterapi

Penatalaksanaan Keperawatan
a. Promotif :
1) Penyuluhan kesehatan masyarakat dan tingkat gizi yang baik
2) Pemeliharaan kesehatan perseorangan dan lingkungan
3) Olahraga secara teratur
4) Pendidikan seksual yang baik dan benar (penjelasan tentang alat kontrasepsi dan perilaku seksual yang sehat)
b. Preventif
1) Perubahan pola diet atau suplemen dengan makan banyak sayur dan buah mengandung bahan-bahan antioksidan dan berkhasiat mencegah kanker misalnya alpukat, brokoli, kol, wortel, jeruk, anggur, bawang, bayam, tomat.
2) Vaksin HPV untuk mencegah kanker serviks. Vaksin ini dibuat dengan teknologi rekombinan, sehingga mempunyai ketahanan yang kuat. Vaksinasi ini merupakan pencegahan yang paling utama. Vaksinasi ini diberikan untuk wanita yang belum terinfeksi atau tidak terinfeksi HPV risiko tinggi (16 dan 18).
3) Pemeriksaan kesehatan reproduksi ke rumah sakit melalui tes pap smear
c. Kuratif
1) Imunoterapi
Imunoterapi yang merupakan teknik pengobatan baru untuk kanker, yang mengerahkan dan lebih mendayagunakan sistem kekebalan tubuh untuk memerangi kanker. Karena hampir selalu menggunakan bahan-bahan alami dari makhluk hidup, terutama manusia, maka imunoterapi sering juga disebut bioterapi atau terapi biologis.
Imunoterapi kanker berupaya membuat sistem kekebalan tubuh mampu mengalahkan keganasan sel-sel kanker, dengan cara meningkatkan/mengarahkan reaksi kekebalan tubuh terhadap sel kanker, atau mengembalikan kemampuan tubuh dalam menaklukkan kanker (body response modifiers –BRM).
Sejauh ini ada beberapa jenis imunoterapi yang telah dikembangkan, antara lain:
 Interferon
Merupakan sitokin yang berupa glikoprotein. Interferon, khususnya interferon alfa, adalah obat imunoterapi pertama yang digunakan untuk mengobati kanker. Sitokin ini sebenarnya juga diproduksi dalam tubuh, tetapi jumlahnya kecil. Selain langsung menyerang sel kanker, Biasanya interferon alfa juga dapat menghentikan pertumbuhan kanker atau mengubahnya menjadi sel normal. Diduga interferon juga merangsang kerja sel NK, sel T, dan makrofag; serta mengurangi suplai darah ke sel kanker. Biasanya interferon alfa digunakan untuk mengobati leukemia, melanoma, kanker ginjal, dan myeloma.

 Antibodi Monoklonal
Merupakan antibody yang dihasilkan oleh satu klon sel. Digunakan dalam identifikasi sel, typing darah dan penegakan diagnosa. Antibodi monoklonal dibuat di laboratorium khusus untuk melawan antigen tertentu. Karena tiap jenis kanker mengeluarkan antigen yang berbeda, maka berbeda pula antibodi yang digunakan. Antibodi monoklonal juga dapat mempengaruhi cell growth factors, karenanya dapat digunakan untuk menghambat pertumbuhan sel-sel tumor. Jika dipadu dengan radioisotop, obat kemoterapi, atau imunotoksin, setelah menemukan antigen yang dicari antibodi monoklonal langsung membunuh sel pembuatnya (kanker). Beberapa jenis antibodi monoklonal yang banyak dipergunakan antara lain rituximab, trastuzumab (kanker payudara yang sudah menyebar), alemtuzumab (leukemia limfositik kronis), bevacizumab (kanker usus besar), cetuximab (kanker usus besar), gemtuzumab ozogamicin (leukemia myelogenik akut), ibritumomab tiuxetan (non Hodgkin’s lymphoma). Antibodi monoklonal untuk berbagai jenis kanker lainnya sedang dalam tahap uji klinis.

 Vaksin
Saat ini penggunaan vaksin kanker baru saja dimulai. Sebagian besar masih dalam tahap penelitian dan uji klinis, sehingga belum bisa digunakan secara umum. Berbeda dengan vaksin pada umumnya yang diberikan sebagai pencegahan pada orang yang sehat, pada penderita kanker vaksin digunakan sebagai pengobatan. Vaksin tersebut merangsang sistem kekebalan tubuh manusia untuk mampu mengenali sel-sel kanker, menghentikan pertumbuhannya, mencegah diberikan dalam tahap dini, vaksin kanker dapat membuatnya sembuh secara total. Sedang vaksin yang difungsikan sebagai pencegah kanker, sebenarnya kekambuhannya, dan membersihkan sisa-sisa kanker dari pengobatan operasi, kemoterapi, atau radiasi.

 Colony Stimulating Factor (CSFs)
CSFs kadang disebut juga hematopoietic growth factors. Obat imunoterapi jenis ini merangsang sumsum tulang belakang untuk membelah dan membentuk sel darah putih, sel darah merah, maupun keping darah, yang kesemuanya berperan penting dalam sistem kekebalan tubuh. Pengobatan dengan CSFs penting bagi penderita kanker yang menjalani pengobatan lain, misalnya kemoterapi, karena obat-obat kemoterapi umumnya juga merusak sumsum tulang belakang, yang menyebabkan penderita mengalami kurang darah (anemia), mudah terkena infeksi, dan sering mengalami perdarahan. CSFs dapat mengurangi resiko tersebut. Obat-obat yang tergolong hematopoietic growth factors antara lain: – G-CSF (filgrastim) dan GM-CSF (sargramostim) untuk meningkatkan jumlah sel darah putih pencegah infeksi dan sel induk untuk kepentingan transplantasi sumsum tulang belakang. – Erythropoietin (EPO) untuk meningkatkan sel darah merah, mencegah anemia. – Interleukin-2 (aldesleukin) untuk meningkatkan limfosit yang dapat menghancurkan sel kanker. – Interleukin-11 (oprelvekin) untuk meningkatkan jumlah keping darah dan mencegah perdarahan.

 Terapi Gen
Terapi gen yang masih bersifat eksperimental ini memberi harapan besar. Dengan memasukkan material genetic tertentu ke dalam sel tubuh penderita kanker, perilaku sel tubuh orang tersebut bisa dikendalikan sesuai kebutuhan. Misalnya, jika gen tertentu diselipkan ke dalam sel kekebalan tubuh, maka sistem kekebalan tubuh menjadi lebih mampu mengenali dan menyerang sel kanker. Bisa juga diselipkan gen yang membuat sel kanker lebih mudah dideteksi dan dihancurkan oleh sistem kekebalan tubuh. Atau, kedalam tubuh penderita dimasukkan sel kanker yang telah diberi gen pembentuk sitokin, yang akan mengaktifkan sistem kekebalan tubuh untuk menyerang dan menghancurkan sel-sel kanker.
d. Rehabilitatif
1) Latihan fisik bagi yang mengalami gangguan fisik.
2) Bagi stadium akhir, sebagai perawat melakukan paliatif care.

2.10 Pencegahan
a. Miliki pola makan sehat, yang kaya dengan sayuran, buah dan sereal untuk merangsang sistem kekebalan tubuh. Misalnya mengkonsumsi berbagai karotena, vitamin A, C, dan E, dan asam folat dapat mengurangi risiko terkena kanker leher rahim.
b. Hindari merokok. Banyak bukti menunjukkan penggunaan tembakau dapat meningkatkan risiko terkena kanker serviks.
c. Hindari seks sebelum menikah atau di usia sangat muda atau belasan tahun.
d. Hindari berhubungan seks selama masa haid terbukti efektif untuk mencegah dan menghambat terbentuknya dan berkembangnya kanker serviks.
e. Hindari berhubungan seks dengan banyak partner.
f. Secara rutin menjalani tes Pap smear secara teratur. Saat ini tes Pap smear bahkan sudah bisa dilakukan di tingkat Puskesmas dengan harga terjangkau.
g. Alternatif tes Pap smear yaitu tes IVA dengan biaya yang lebih murah dari Pap smear. Tujuannya untuk deteksi dini terhadap infeksi HPV.
h. Pemberian vaksin atau vaksinasi HPV untuk mencegah terinfeksi HPV. Vaksin HPV dapat mencegah infeksi HPV tipe 16 dan 18. Dan dapat diberikan mulai dari usia 9-26 tahun, dalam bentuk suntikan sebanyak 3 kali (0-2-6 bulan).
i. Melakukan pembersihan organ intim atau dikenal dengan istilah vagina toilet. Ini dapat dilakukan sendiri atau dapat juga dengan bantuan dokter ahli. Tujuannya untuk membersihkan organ intim wanita dari kotoran dan penyakit.

2.11 Komplikasi
1) Berkaitan dengan intervensi pembedahan
a. Vistula Uretra
b. Disfungsi bladder
c. Emboli pulmonal
d. Infeksi pelvis
e. Obstruksi usus
2) Berkaitan dengan kemoterapi
a. Sistitis radiasi
b. Enteritis
3) Berkaitan dengan kemoterapi
a. Supresi sumsum tulang
b. Mual muntah akibat pengunaan obat kemoterapi yang mengandung sisplatin
c. Kerusakan membrane mukosa GI
d. Mielosupresi

2.12 Prognosis
Prognosis kanker serviks tergantung dari stadium penyakit. Umumnya, bertahan hidup sampai 5 tahun untuk stadium I lebih dari 90%, untuk stadium II 60-80%, stadium III kira - kira 50%, dan untuk stadium IV kurang dari 30%.
a. Stadium 0
100 % penderita dalam stadium ini akan sembuh.
b. Stadium 1
Kanker serviks stadium I sering dibagi menjadi 2, IA dan IB. Dari semua wanita yang terdiagnosis pada stadium IA kira-kira 95% dapat bertahan hidup selama 5 tahun. Untuk stadium IB sebesar 70 sampai 90% dapat bertahan hidup selama 5 tahun. Ini tidak termasuk wanita dengan kanker pada limfonodi mereka.
c. Stadium 2
Kanker serviks stadium 2 dibagi menjadi 2, 2A dan 2B. dari semua wanita yang terdiagnosis pada stadium 2A memiliki sebesar 70 - 90% dapat bertahan hidup selama 5 tahun. Untuk stadium 2B sebesar 60 sampai 65% dapat bertahan hidup selama 5 tahun.
d. Stadium 3
Pada stadium ini dapat bertahan hidup selama 5 tahun sebesar 30-50%
e. Stadium 4
Pada stadium ini dapat bertahan hidup selama 5 tahun sebesar 20-30%

BAB 3
TINJAUAN KASUS

3.1 Klien Ca Cervix
a. Gambaran kasus
Ny.St usia 40 thn, MRS tgl 12 september 2008. Keluhan utama keputihan selama 1 tahun, nyeri pada pelvis dan perdarahan spontan ketika coitus.
Diagnosa medis menunjukkan adanya Ca Cervix stadium 2.
Anamnesa klien:
- Klien memiliki 6 orang anak
- Suami perokok berat
- Riwayat keluarga , nenek dari ibu penderita Ca Payudara
Pemeriksaan Laboratorium
- Pap Smear (26 Agustus 2008), adanya keganasan
- Tes darah lengkap (7 September 2008) jumlah Ht menurun
- Patologi anatomi (9 September 2008)
Biopsi massa ukuran 1 X 2 cm, bulat, berbenjol-benjol
Kesimpulan : adanya tumor yang invasif. Terbukti adanya keganasan.
- CT-Scan (14 September 2008)
Kesimpulan : Proses keganasan sudah keluar dari serviks dan menjalar ke 2/3 bagian atas vagina dan / ke parametriumtetapi tidak sampai dinding panggul
Penatalaksanaan medis:
- Pemberian analgesik opioid
- Tranfusi darah
- Histerektomi Radikal (17 September 2008) pengagkatan uterus dan 2/3 atas vagina.
- Kemoterapi Adjuvant dan Kemoterapi Neo-Adjuvant
b. Tinjauan Keperawatan
1. Pengkajian (19 September 2008)
Anamnesa
Pasien mengatakan malu dan takut saat berhubungan suami istri
Keluhan utama : nyeri yang di akibatkan post op
Riwayat penyakit :
Keluarga : terdapat riwayat kanker pada nenek klien.
Pemeriksaan Fisik :
a. Rambut
Rontok karena efek dari kemoterapi
b. Konjungtiva
Anemis
c. Wajah
Pucat
d. Abdomen
Distensi abdomen
e. Vagina
Keputihan berbau, warna merah, perdarahan merah tua, berbau dan kental
f. Serviks
Ada nodul
Pola Kesehatan fungsional
a. Pola persepsi
Personal hygiene yang kurang pada daerah genetalia
b. Pola nutrisi dan metabolik
Anoreksia, BB menurun
c. Pola eliminasi
BAB dan BAK tidak disadari
d. Pola aktivitas dan latihan
Klien mengalami kelelahan
e. Pola istirahat dan tidur
Ada gangguan tidur
f. Persepsi diri dan konsep diri
Harga diri rendah
g. Pola reproduksi dan seksual
Nyeri dan perdarahan saat coitus


ANALISA DATA DIAGNOSA TUJUAN KRITERIA HASIL INTERVENSI RASIONAL EVALUASI
DS:
klien menyatakan nyeri





DO: terlihat ekspresi kesakitan Gangguan rasa nyaman : nyeri b.d trauma jaringan dan spasme otot sekunder terhadap pembedahan Rasa nyeri dapat berkurang - Skala nyeri berkurang
- Klien dapat beradaptasi dengan nyerinya melalui proses relaksasi distraksi 1. Berikan posisi nyaman
2. Ajarkan terapi distraksi dan relaksasi
3. Berikan aktivitas ringan pada klien di siang hari
4. Kolaborasi :Jika timbul nyeri akut berikan anal gesik 1. dapat mengurangi rasa nyeri
2. menurunkan ketegangan otot
3. dapat mengalihkan perhatian klien dari rasa nyeri
4. dapat menurunkan rasa nyeri
S : Klien menyatakan rasa nyerinya sudah berkurang
O : Skala nyeri berkurang
A :Masalah teratasi sebagian
P :Pertahankan intervensi No:3

DS :Pasien menyatakan malu dan takut saat berhubungan suami-isteri serta adanya keputihan dengan bau busuk dari vagina

DO : -

Gangguan konsep diri: hargadiri rendah b.d jaringan mati dan busuk, keputihan yang berbau busuk dari vagina. Harga diri klien meningkat klien mengatasi masalahnya dengan positif 1. dorong klien untuk mengungkapkan permasalahnnya
2. kaji kemampuan klien yang bersifat positif
3. libatkan keluarga untuk memotivasi klien 1. dengan mengungkapkan masalahnya diharapkan perawat dapat membantu menyelesaikan
2. meningkatkan harga diri klien
3. sebagai support system untuk klien S : Klien menyatakan sudah mulai bisa mengatasi masalahnya.

O : klien sudah mampu melakukan hal2 positif.

A : Masalah teratasi sebagian

P : Pertahankan intervensi no. 3
DS : klien menyatakan nyeri setelah beberapa hari post operasi



DO:
- ditemukannya tanda-tanda inflamasi
- leukosit tidak normal, yang menunjukkan adanya infeksi luka.
- TTV tidak normal. Resiko infeksi b.d tempat masuknya organisme sekunder akibat tindakan pembedahan. Tidak terjadi infeksi yang diakibatkan organisme sekunder - tidak ada tanda-tanda inflamasi (rubor, dolor, kalor, function laesia)
- leukosit normal (5000- 10.000)
- TTV normal (TD=120/80 mmHg, nadi=60-100X/menit,RR=16-20X/menit, suhu: 36-37,5 C )
1. pertahankan perawatan luka dengan teknik aseptic dan balutan kering
2. berikan diet TKTP
3. lakukan perawatan dengan kasa steril jika pembalutan luka basah 1. teknik aseptic mencegah masuknya kuman
2. TKTP mempercepat penyembuhan luka
3. untuk mencegah masuk dan berkembang di daerah luka S : Klien menyatakan dapat menjaga daerah luka
O : Tidak timbul tanda-tanda Infeksi
A : Tidak terjadi Infeksi
P: Pertahankan intervensi No: 2

DS :
- Klien menyatakan tidak nafsu makan
- Klien menyatakan mual ketika mengkonsumsi makanan



DO :
klien tampak lemah Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d anoreksia Agar kebutuhan nutrisi klien terpenuhi Nafsu makan meningkat dan pasien tidak lemah serta pucat. 1. Jelaskan pentingnya nutrisi untuk kesembuhan pasien

2. anjurkan porsi makan sedikit tapi sering

3. anjurkan pasien untuk mengurangi minum di sela-sela makan

4. Temani dan bantu pasien makan 1. Meningkatkan motivasi pasien untuk menghabiskan makanan
2. dapat meningkatkan asupan makanan dan kebutuhan terpenuhi
3. minum dapat menyebabkan cepat kenyang, stok nutrisi yang masuk kurang
4. Dapat meningkatkan motivasi pasien untuk makan S: Pasien menyatakan sudah mulai mengalami peningkatan nafsu makan
O: Porsi makan pasien mulai meningkat
A: Masalah mulai teratasi
P: pertahankan intervensi no 2
DS: Pasien mengeluh kulitnya terasa gatal-gatal





DO: Kulit pasien terlihat memerah Gangguan integritas kulit b.d efek radiasi Integritas kulit dapat dipertahankan Kulit tampak utuh dan bersih 1. Jaga kebersihan kulit
2. Pertahankan hidrasi yang adekuat
3. Kaji kulit terhadap efek samping kanker
4. Jelaskan pada pasien untuk menghindari menggaruk 1. Mencegah transmisi mikroorganisme
2. elastisasi kulit tetap terjaga
3. efek merah,gatal-gatal ada dalam area radiasi
4. mencegah iritasi
S: Klien menyatakan sudah mulai berkurang rasa gatalnya
O: Kemerahan pada kulit klien mulai berkurang
A: Gangguan integritas kulit teratasi
P:Pertahankan intervensi no 4
DS :Pasien menyatakan masi kebingungan dengan penatalaksanaan pengobatan



DO: Pasien terlihat bingung. Kurang pengetahuan tentang penatalaksanaan pengobatan b.d terbatasnya informasi. Pasien dapat mengungkapkan perencanaan pengobatan tujuan dari pemberian terapi klien mengungkapkan pemahaman tentang efek kanker pada seksualitas dan tindakan untuk memperbaiki atau menghadapi masalah. 1. berikan dorongan pada klien untuk bertanya dan bercerita tentang masalah seksual
2. diskusikan dengan keluarga pasien tentang kondisi pasien
3. indentifikasi tingkat penerimaan informasi pada klien dan keluarga mengenai seksualitas 1. dapat mengurangi beban si pasien
2. bertujuan agar keluarga menerima kondisi pasien
3. mengetahui apakah informasi bisa di terima keluarga dan pasien. S :Klien menyatakan sudah dapat mengetahui dan menerima kondisinya
O : Klien tidak tampak sedih lagi
A :Klien dapat mengatasi permasalahannya
P : Intervensi di hentikan



















BAB 4
PEMBAHASAN

Ny. St dengan usia 40 tahun, mempunyai keluhan utama keputihan selama 1 tahun, nyeri pada pelvis dan perdarahan spontan ketika coitus. Diagnosa medis menunjukkan adanya kanker serviks stadium 2. Pada stadium ini proses keganasan sudah keluar dari serviks dan menjalar ke 2/3 bagian atas vagina dan / ke parametrium tetapi tidak sampai dinding panggul. Kanker servik mayoritas disebabkan oleh infeksi virus, yaitu Human Papiloma Virus (HPV) meskipun tidak semua kanker serviks disebabkan oleh virus tersebut. Faktor risiko yang menyebabkan Ny. St terkena kanker servik yaitu, adanya salah satu anggota keluarga (suami) yang merokok, karena asap rokok dan tembakau dapat merusak sistem kekebalan dan mempengaruhi kemampuan tubuh untuk melawan infeksi HPV pada servik. Selain itu juga ada salah satu anggota keluarga (ibu) Ny. St yang pernah menderita kanker payudara. Pada penyakit kanker hal yang perlu diperhatikan adalah faktor genetik. Jika salah satu anggota keluarga ada yang terkena kanker, maka anggota keluarga yang lainnya mempunyai resiko untuk terkena kanker juga, karena kanker itu bersifat menurun atau genetis. Pada kasus ini Ny. St mempunyai 6 orang anak, dan wanita yang mempunyai banyak anak atau lebih dari 3 mempunyai resiko terkena kanker servik. Kanker ini cenderung muncul pada usia 35-55 tahun. Dan usia Ny. St berada pada rentang waktu tersebut.
Pengobatan pada kanker servik dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, yaitu, dilakukan pembedahan yang disebut histerektomi radikal, radiasi ( penyinaran dengan radioaktif), dan kemoterapi (pemberian obat pembunuh sel kanker). Pilihan pengobatan dipengaruhi oleh stadium penyakit. Pada kasus Ny. St ini dapat dilakukan histerektomi radikal yaitu pengangkatan 2/3 bagian atas vagina, serta penggantung rahim akan dipotong hingga sedekat mungkin dengan dinding panggul. Indung telur bisa diangkat atau tidak tergantung usia pasien. Bila masih haid, indung telur akan ditinggal. Awalnya akan terasa tak enak karena vagina lebih pendek, tapi pada akhirnya akan terbiasa juga. Karena pada stadium ini dapat di mungkinkan dilakukan tindakan pembedahan dan pemberian kemoterapi sebelum pembedahan dan sesudah pembedahan. Ny. St sudah tidak memiliki rencana untuk hamil kembali dikarenakan telah memiliki 6 orang anak sebelumnya, dan hal ini juga menjadi pertimbangan dalam pemilihan pengobatan, karena histerektomi radikal dapat menyebabkan Ny. St tidak bisa hamil lagi. Apabila kanker serviks pada Ny. St sudah mencapai stadium lanjut, pilihan pengobatan yang dapat diberikan adalah radiasi atau penyinaran, sedangkan pengobatan dengan pembedahan tidak dimungkinkan. Karena dapat menyebabkan perdarahan.
Dari data di atas dapat disimpulakn bahwa Ny. St mendapatkan pengobatan histerektomi radikal dan kemoterapi. Sebelum melakukan pembedahan, pasien diberikan kemoterapi dahulu, tujuannya adalah untuk mengecilkan massa tumor yang besar sehingga operasi akan lebih sempurna hasilnya. Dari pemberian kemoterapi ini akan mempengaruhi sel-sel yang membelah dengan cepat termasuk sel darah (yang berfungsi melawan infeksi, membantu pembekuan darah atau mengangkat oksigen ke seluruh tubuh), jika sel darah terkena pengaruh obat anti kanker, Ny. St akan lebih mudah mengalami infeksi, mudah memar dan mengalami pendarahan serta kekurangan tenaga, sel-sel pada akar rambut dan sel-sel yang melapisi saluran cerna juga membelah dengan cepat. Jika sel-sel tersebut terpengaruh oleh kemoterapi, Ny. St akan mengalami kerontokan rambut, nafsu makannya berkurang, mual, muntah, atau luka terbuka di mulut. Kemoterapi ini dilanjutkan dengan pengangkatan 2/3 bagian atas vagina atau histerektomi radikal. Efek samping dari pembedahan tersebut, yaitu, beberapa hari setelah menjalani histeraktomi, Ny. St bisa mengalami nyeri di perut bagian bawah, dan untuk mengatasinya bisa diberikan obat pereda nyeri. Ny. St juga akan mengalami kesulitan dalam berkemih dan buang air besar, untuk membantu pembuangan air kemih bisa dipasang kateter. Beberapa setelah pembedahan, aktivitas Ny. St harus dibatasi agar penyembuhan berjalan lancar. Aktivitas normal ( termasuk hubungan seksual ) bisa kembali dilakukan dalam waktu s4-8 minggu. Setelah menjalani histerektomi Ny. St tidak akan mengalami menstruasi lagi. Histerektomi biasanya tidak mempengaruhi gairah seksual dan kemampuan untuk melakukan hubungan seksual. Tetapi banyak penderita mengalami gangguan emosinal setelah histerektomi. Pandangan Ny. St terhadap seksuallitasnya bisa berubah dan Ny. St merasakan kehilangan karena dia tidak dapat hamil lagi. Setelah dilakukan pembedahan, maka akan dilanjutkan lagi dengan kemoterapi adjuvan yang bertujuan untuk memusnahkan sel-sel kanker yang masih tersisa atau metastase kecil yang ada (micro metastasis) karena tidak semua sel kanker terangkat pada saat dilakukan pembedahan.




BAB 5
PENUTUP

5.1 KESIMPULAN
Kanker serviks merupakan kanker yang berasal dari leher rahim ataupun dari mulut rahim yang tumbuh dan berkembang di serviks, dan dapat menembus ke luar dari serviks sehingga tumbuh diluar serviks bahkan dapat tumbuh terus sampai dinding panggul dan dapat meluas ke vagina sedangkan penyebaranyya dapat melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah. Jika melalui pembuluh limfe dapat mengenai kelenjar limfe jauh, antara lain sampai kelenjar limfe leher. Sedangkan jika melalui pembuluh darah dapat mencapai organ tubuh yang jauh, seperti paru-paru, hati, bahkan otak. (Andrijono, 2005)
Usaha-usaha pencegahan yaitu menghilangkan faktorfaktoryang berpengaruh terhadap terjadinya kanker serviks maupunfaktor penyebabnya, agaknya kurang realistis, meskipun misalnyadapat saja menganjurkan memakai kondom setiap melakukanhubungan seksual. Lagi pula sesungguhnya proses kanker serviksini sudah dimulai sejak melakukan hubungan seksual pertama kali,dan biasanya pada masa-masa itu mereka belum datang ke dokter.Jadi yang paling penting ialah mencegah kanker serviks menjadi invasif, yaitu dengan cara melakukan deteksi dini atau pemeriksaan secara masal (mass screening), meskipun cara ter-akhir ini manfaatnya untuk menurunkan angka mortalitas masih kontroversi, disamping memerlukan biaya yang mahal. Pada kasus Ny.Rd penanganan yag tepat untuk terapinya adalah kemoterapi dan histerektomi. Namun tidak semua kasus Ca.cerviks yang dapat menggunkan cara ini.

5.2 SARAN
1. Perawat diharapkan dapat melakukan health education pada pasien ca serviks
2. Perawat diharapkan dapat melakukan asuhan keperawatan dengan lebih baik
3. Perawat dapat menerapkan isi makalah dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien


Daftar Pustaka

Anonim.2008. Kiat Mencegah Kanker Rahim.http://sinichireina.wordpress.com/category/kesehatan/.
Anonim.2009. Pembedahan membuang rahim.http://salbeautyhealth.com/blog/?tag=histerektomi.
Anonim.2007.Histerektomy.http://www.metromaternity.com/hysterectomy_m.html.
Anonim.Radio Terapi pada Kanker Serviks.http://digilib.unsri.ac.id/jurnal/health-sciences/radioterapi-pada-kanker-serviks/mrdetail/888/
Anonim. Terapi kanker serviks. Diambil dari http://gedbinlink.wordpress.com/tag/kanker-servik/ pada tanggal 28 september 2010
Anonim. Kemoterapi. Diambil dari http://www.dharmais.co.id/new/content.php?page=article&lang=en&id=16 pada tanggal 28 September 2010
Anonim. Pembedahan Kanker Serviks. Diambil dari http://old.medicastore.com/med/hot_topik.php?id=138&iddtl=&idktg=&idobat=&UID=20090928200040110.139.69.23 pada tanggal 28 September 2010
Anonim. 2009. Imuno Terapi Kanker. Diambil dari http://rumahkanker.com/index.php?option=com_content&view=article&id=27:imunoterapi-kanker-bukan-hanya-vaksin&catid=17:pengobatan-komplementer&Itemid=70 pada tanggal 28 September 2010
Price,Sylvia Anderson & Wilson, Lorraine McCarty.1995. Pathophysiology, Clinical Concepts of disease processes.-Ed 4.-Jakarta:EGC
Munoz N, Castellsague X, de Gonzalez AB, Gissmann L. 2006. HPV in the etiology of human cancer.Vaccine 2006;24:1-10.
Kaufman RH, Adam E, Vonka V. 2000. Human Papillomavirus infection and cervical carcinoma. Clin Obstet and Gynecol.
Park T-W, Fujiwara H, Wright TC. Molekular Biology of cervical Cancer and Its Precursors. Cancer, 1995;76:1902-13.
Shin B, Dubeau L. Cell cycle abnormalities in squamous cell carcinoma of the cervix. CME Journal of Gynecologic Oncology. 2001;6:167:72.
Parkin DM, Bray F. The burden of HPV-related cancers. Vaccine 2006;24:11-25.

Askep Diabetes Militus

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Di era global ini diabetes mellitus sudah menjadi tren penyakit yang sangat mendunia. Tidak hanya menjadi penyakit para orang kaya saja, tetapi sudah menembus ke berbagai strata sosial maupun tingkatan umur. Diabetes mellitus yang secara awam dikenal dengan sebutan kencing manis adalah penyakit degenerative yang notabenenya tidak menular tetapi penyakit ini bisa juga disebabkan oleh life style yang tidak baik. Diabetes mellitus adalah penyakit dimana tubuh penderita tidak mampu mengendalikan tingkat glukukosa dalam darah. Penderita mengalami gangguan metabolisme distribusi gula sehingga tubuh tidak dapat memproduksi insulin secara efektif sehingga gula dalam darah berlebihan.
Data Epidemiologi menunjukkan, bahwa jumlah penderita Diabetes Mellitus di dunia pada tahun 1994 terdapat 110,4 juta akan meningkat 1,5 kali lipat menjadi 175,4 juta pada tahun 2000 dan pada tahun 2010 akan melonjak dua kali lipat menjadi 239,3 juta penderita.
Dampak negative pembangunan yang dilaksanakan pemerintah Indonesia memang sangat dahsyat. Pola penyakit di negri ini mengalami pergeseran yang awalnya penyakit infeksi dan kekurangan gizi berangsur menurun tetapi penyakit generative menahun seperti diabetes mellitus malah meningkat tajam. Perobahan ini diduga berhubungan dengan cara hidup yang berubah. Pola makan yang dulunya tradisional beralih ke makanan yang praktis, cepat saji, tak berserat, tinggi lemak dan kolesterol yang identik dengan makanan barat. Selain itu gaya hidup yang sibuk dan tidak berolahraga merukan factor predisposisi yang sangat berpengaruh. Pola hidup seperti inilah yang menyebabkan tingginya penderita diabetes mellitus.
Penderita diabetes mellitus perlu mendapatkan perawatan yang rutin dan berkelanjutan. Selain untuk menaikkan kualitas hidup perawatan ini juga berfungsi untuk mencegah komplikasi yang tidak diinginkan. Pencegahan bisa dilakukan secara primer, sekunder maupun tersier. Baik itu dengan memberikan health education pada penderita tentang pengubahan pola hidup, menghindari faktor-faktor pencetus ataupun dengan perilaku medis. Sehingga dengan adanya pencegahan dan perawatan yang dilakukan diharapkan dapat menurunkan angka penderita diabetes mellitus di Negara Indonesia pada khususnya dan duna pada umumnya.
1.2. Rumusan Masalah
1) Bagaimana konsep diabetes melitus?
2) Bagaimana asuhan keperawatan pada klien diabetes melitus?

1.3. Tujuan
Tujuan Umum
1. Menjelaskan konsep diabetes melitus.
2. Menjelaskan asuhan keperawatan pada klien diabetes melitus.
Tujuan Khusus
1) Menjelaskan anatomi dan fisiologi pankreas.
2) Menjelaskan definisi diabetes melitus.
3) Menjelaskan klasifikasi diabetes melitus.
4) Menjelaskan etiologi diabetes melitus.
5) Menjelaskan patofisiologi diabetes mellitus.
6) Menjelaskan manifestasi klinis diabetes melitus.
7) Menjelaskan pemeriksaan diagnostik diabetes melitus.
8) Menjelaskan penatalaksanaan diabetes melitus.
9) Menjelaskan komplikasi diabetes melitus.
10) Menjelaskan prognosis diabetes melitus.
11) Menjelaskan WOC diabetes melitus.
12) Menjelaskan pencegahan yang bisa dilakukan pada diabetes melitus.
13) Menjelaskan tentang asuhan keperawatan pada klien dengan diabetes melitus.
1.4 Manfaat
Menambah pengetahuan mahasiswa tentang patofisiologi dan asuhan keperawatan pada klien dengan diabetes melitus.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Pankreas

Pankreas merupakan sekumpulan kelenjar yang panjangnya kira – kira 15 cm, lebar 5 cm, mulai dari duodenum sampai ke limpa dan beratnya rata – rata 60 – 90 gram. Terbentang pada vertebrata lumbalis 1 dan 2 di belakang lambung. Pankreas merupakan kelenjar endokrin terbesar yang terdapat di dalam tubuh baik hewan maupun manusia. Bagian depan (kepala) kelenjar pankreas terletak pada lekukan yang dibentuk oleh duodenum dan bagian pilorus dari lambung. Bagian badan yang merupakan bagian utama dari organ ini merentang ke arah limpa dengan bagian ekornya menyentuh atau terletak pada alat ini. Pankreas terdiri dari dua jaringan utama, yaitu :
1) Asini sekresi getah pencernaan ke dalam duodenum.
2) Pulau Langerhans yang tidak tidak mengeluarkan sekretnya keluar, tetapi menyekresi insulin dan glukagon langsung ke darah.
Pulau – pulau Langerhans berbentuk ovoid yang menjadi sistem endokrinologis dari pankreas tersebar di seluruh pankreas dengan berat hanya 1 – 3 % dari berat total pankreas.

Mengandung tiga jenis sel utama, yaitu :
1) Sel – sel A ( alpha ), jumlahnya sekitar 20 – 40 % ; memproduksi glikagon yang manjadi faktor hiperglikemik, suatu hormon yang mempunyai “ anti insulin like activity “.
2) Sel – sel B ( betha ), jumlahnya sekitar 60 – 80 % , membuat insulin.
3) Sel – sel D ( delta ), jumlahnya sekitar 5 – 15 %, membuat somatostatin.
Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul 5808 untuk insulin manusia. Sebelum insulin dapat berfungsi, ia harus berikatan dengan protein reseptor yang besar di dalam membrana sel. Insulin di sintesis sel beta pankreas dari proinsulin dan di simpan dalam butiran berselaput yang berasal dari kompleks Golgi. Pengaturan sekresi insulin dipengaruhi efek umpan balik kadar glukosa darah pada pankreas. Bila kadar glukosa darah meningkat diatas 100 mg/100ml darah, sekresi insulin meningkat cepat. Bila kadar glukosa normal atau rendah, produksi insulin akan menurun. Selain kadar glukosa darah, faktor lain seperti asam amino, asam lemak, dan hormon gastrointestina merangsang sekresi insulin dalam derajat berbeda-beda. Fungsi metabolisme utama insulin untuk meningkatkan kecepatan transport glukosa melalui membran sel ke jaringan terutama sel – sel otot, fibroblas dan sel lemak.
Sekresi Insulin
Sekresi insulin merupakan proses yang memerlukan energi dengan melibatkan sistem mikrotubulus-mikrofilamen dalam sel B pada pulau Lengerhans. Sejumlah kondisi turut membantu pelepasan insulin :
1. Glukosa: apabila kadar glukosa darah melewati ambang batas normal—yaitu 80-100 mg/dL–maka insulin akan dikeluarkan dan akan mencapai kerja maksimal pada kadar glukosa 300-500 mg/dL.


2. Asam amino ( arginin dan lisin )
Asam amino sangat memperkuat rangsangan glukosa terhadap sekresi insulin. Perangsangan sekresi insulin oleh asam amino merupakan respons yang sangat bermakna sebab insulin sendiri sebaliknya meningkatkan pengangkutan asam amino ke dalam sel jaringan demikian juga meningkatkan pembentukan protein intraselular. Sehingga hal ini menyebabkan insulin sangat berguna untuk pemakaian asam amino yang berlebihan.
3. Faktor Hormonal
Ada beberapa hormon yang meningkatkan insulin dalam darah, yaitu epinefrin (meningkatkan cAMP intrasel), kortisol, laktogen plesenta, esterogen dan progestatin.
4. Preparat Farmakologi
Banyak obat merangsang sekresi insulin, tetapi preparat yang digunakan paling sering untuk terapi diabetes pada manusia adalah senyawa sulfaonilurea.
Mekanisme kerja dan metabolisme insulin
Insulin dalam darah beredar dalam bentuk yang tidak terikat dan memilki waktu paruh 6 menit. Dalam waktu 10 sampai 15 menit akan dibersihkan dari sirkulasi. Kecuali sebagian insulin yang berikatan dengan reseptor yang ada pada sel target, sisa insulin didegradasi oleh enzim insulinase dalam hati, ginjal, otot, dan dalam jaringan yang lain. Insulin berikatan dengan subunit alfa -- subunit beta mengalami autofosforilasi -- protein kinase -- fosforilasi dari banyak enzim intraselular lainnya. Insulin bersifat anabolik, meningkatkan simpanan glukosa, asam-asam lemak, dan asam-asam amino. Glukagon bersifat katabolik, memobilisasi glukosa, asam-asam lemak, dan asam-asam amino dari penyimpanan ke dalam aliran darah. Kedua hormon ini bersifat berlawanan dalam efek keseluruhannya dan pada sebagian besar keadaan disekresikan secara timbal balik. Insulin yang berlebihan menyebabkan hipoglikemia, yang menimbulkan kejang dan koma. Insulin merupakan hormon yang berfungsi sebagai second messenger yang merangsang dengan potensial listrik. Beberapa peristiwa yang terjadi setelah insulin berikatan dengan reseptor membrane :
1. Terjadi perubahan bentuk reseptor.
2. Reseptor akan berikatan silang dan membentuk mikroagregat.
3. Reseptor diinternalisasi.
4. Dihasilkan satu atau lebih sinyal. Setelah peristiwa tersebut, glukosa akan masuk ke dalam sel dan membentuki glikogen.
Defisiensi insulin baik absolut maupun relatif, menyebabkan diabetes melitus, suatu penyakit kompleks yang bila tidak diobati dapat mematikan. Defisiensi glukagon dapat menimbulkan hipoglikemia, dan kelebihan glukagon menyebabkan diabetes memburuk.

2.2 Definisi Diabetes Melitus
Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. (Brunner dan Suddarth,2002).
Diabetes mellitus adalah penyakit kronis yang kompleks yang mengakibatkan gangguan metabolisme karbohidrat, protein, lemak dan berkembang menjadi komplikasi makrovaskuler, mikrovaskuler dan neurologis. (Barbara C. Long)
Diabetes Melllitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Arjatmo, 2002).
Diabetes Mellitus ( DM ) adalah penyakit metabolik yang kebanyakan herediter, dengan tanda – tanda hiperglikemia dan glukosuria, disertai dengan atau tidak adanya gejala klinik akut ataupun kronik, sebagai akibat dari kuranganya insulin efektif di dalam tubuh, gangguan primer terletak pada metabolisme karbohidrat yang biasanya disertai juga gangguan metabolisme lemak dan protein. ( Askandar, 2000).
2.3 Klasifikasi
Klasifikasi Diabetes melitus dan penggolongan intoleransi glukosa yang lain:
a. Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM)
Yaitu defisiensi insulin karena kerusakan sel-sel langerhans yang berhubungan dengan tipe HLA (Human Leucocyte Antigen) spesifik, predisposisi pada insulitis fenomena autoimun (cenderung ketosis dan terjadi pada semua usia muda). Kelainan ini terjadi karena kelainan kerusakan sistem imunitas (kekebalan tubuh) yang kemudian merusak sel-sel pulau langerhans di pangkreas. Kelainan ini berdampak pada penurunan produksi insulin.
b. Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM)
Yaitu diabetes resisten, lebih sering pada dewasa, tapi dapat terjadi pada semua umur. Kebanyakan penderita kelebihan berat badan, ada kecendrungan familiar, mungkin perlu insulin pada saat hiperglikemik selama stres.
c. Diabetes Melitus tipe yang lain
Yaitu Diabetes melitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom tertentu hiperglikemik terjadi karena penyakit lain; penyakit pankreas, hormonal, obat atau bahan kimia, endokrinopati, kelainan reseptor insulin dan sindroma genetik tertentu.
d. Impared Glukosa Tolerance (gangguan toleransi glukosa)
Kadar glukosa antara normal dan diabetes, dapat menjadi diabetes atau menjadi normal atau tetap tidak berubah.
e. Gastrointestinal Diabetes Melitus (GDM)
Yaitu intoleransi glukosa yang terjadi selama kehamilan. Dalam kehamilan terjadi perubahan metabolisme endokrin dan karbohidrat yang menunjang pemanasan makanan bagi janin serta persiapan menyusui. Menjelang aterm kebutuhan insulin meningkat sehingga mencapai tiga kali lipat dari keadaan normal. Bila ibu tidak mampu meningkatkan produksi insulin sehingga relatif hipoinsulin maka mengakibatkan hiperglikemia.

2.4 Etiologi Diabetes Mellitus
2.4.1 Diabetes Melitus Tipe 1 (diabetes yang tergantung kepada insulin / IDDM)
Disebabkan karena destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut. Diabetes melitus tipe 1 disebabkan 2 hal yaitu :
a. Autoimun
Disebabkan kesalahan reaksi autoimunitas yang menghancurkan sel beta pankreas. Reaksi autoimunitas tersebut dapat dipicu oleh adanya infeksi pada tubuh. Ditemukan beberapa petanda imun (immune markers) yang menunjukkan pengrusakan sel beta pankreas untuk mendeteksi kerusakan sel beta, seperti "islet cell autoantibodies (ICAs), autoantibodies to insulin (IAAs), autoantibodies to glutamic acid decarboxylase (GAD). )", dan antibodies to tyrosine phosphatase IA-2 and IA-2.
b. Idiopatik
Sebagian kecil diabetes melitus tipe 1 penyebabnya tidak jelas (idiopatik).

2.4.2 Diabetes Melitus Tipe 2 (diabetes yang tidak tergantung kepada insulin / NIDDM)
Bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin. Diabetes melitus tipe-2 merupakan jenis diabetes melitus yang paling sering ditemukan di praktek, diperkirakan sekitar 90% dan semua penderita diabetes melitus di Indonesia. Sebagian besar diabetes tipe-2 adalah gemuk (di negara barat sekitar 85%, di Indonesia 60%), disertai dengan resistensi insulin, dan tidak membutuhkan insulin untuk pengobatan.
Sekitar 50% penderita sering tidak terdiagnosis karena hiperglikemi meningkat secara perlahan-lahan sehingga tidak memberikan keluhan. Walaupun demikian pada kelompok diabetes melitus tipe-2 sering ditemukan komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler, bahkan tidak jarang ditemukan beberapa komplikasi vaskuler sekaligus. (Slamet Suyono, 2006)

2.5 Patofisiologi Diabetes Mellitus
Pada penderita DM, sel beta sering ada tetapi berbeda dengan sel beta yang normal dimana sel beta tidak menunjukkan reaksi pewarnaan untuk insulin sehingga dianggap tidak berfungsi . Pengaturan sekresi insulin dipengaruhi efek umpan balik kadar glukosa darah pada pankreas. Bila kadar glukosa darah meningkat diatas 100 mg/100ml darah, sekresi insulin meningkat cepat. Bila kadar glukosa normal atau rendah, produksi insulin akan menurun. Selain kadar glukosa darah, faktor lain seperti asam amino, asam lemak, dan hormon gastrointestina merangsang sekresi insulin dalam derajat berbeda-beda. Gambaran patologik dari DM secara umum adalah sebagai berikut :
Pada diabetes melitus tipe 1 terjadi fenomena autoimun yang ditentukan secara genetik dengan gejala yang akhirnya menuju proses bertahap perusakan imunologik sel-sel yang memproduksi insulin. Tipe diabetes ini berkaitan dengan tipe histokompabilitas (Human Leucocyt Antigen/HLA) spesifik. Tipe gen histokompabilitas ini adalah yang memberi kode pada protein yang berperan penting dalam interaksi monosit-limfosit. Protein ini mengatur respon sel T yang merupakan bagian normal dari sistem imun. Jika terjadi kelainan, fungsi limfosit T yang terganggu akan berperan penting dalam patogenesis perusakan pulau langerhans. Sedangkan pada diabetes melitus tipe 2 berkaitan dengan kelainan sekresi insulin, serta kerja insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Pada tipe ini terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor yang disebabkan oleh berkurangnya tempat reseptor pada membran sel yang selnya responsif terhadap insulin atau akibat ketidakabnormalan reseptor intrinsik insulin. Akibatnya, terjadi penggabungan abnormal antara komplek reseptor insulin dengan sistem transpor glukosa. Ketidakabnormalan posreseptor ini dapat menggangu kerja insulin. (Sylvia A Price:2006)
Jadi sebagian besar patologi Diabetes melitus dapat dihubungkan dengan efek utama kekurangan insulin. Keadaan patologi tersebut akan berdampak hiperglikemia, hiperosmolaritas, dan starvasi seluler.
a. Hiperglikemia
Apabila terjadi pengurangan pemakaian glukosa oleh sel – sel tubuh, dapat mengakibatkan naiknya konsentrasi glukosa darah setinggi 300 – 1200 mg/dl (Hiperglikemia). Dalam keadaan insulin normal asupan glukosa dalam tubuh akan difasilitasi oleh insulin untuk masuk ke dalam sel tubuh. Glukosa ini kemudian diolah menjadi bahan energi. Apabila bahan energi yang dibutuhkan masih ada sisa akan disimpan dalam bentuk glukogen dalam hati dan sel-sel otot proses glikogenesis (pembentukan glikogen dari unsur glukosa ini dapat mencegah hiperglikemia). Pada penderita diabetes melitus proses ini tidak dapat berlangsung dengan baik sehingga glukosa banyak menumpuk di darah (hiperglikemia). Hiperglikemia akan menyebabkan penumpukan kadar glukosa pada sel dan jaringan tertentu dan dapat mentransport glukosa tanpa insulin. Glukosa yang berlebihan ini tidak akan termetabolisasi habis secara normal melalui glikolisis, tetapi sebagian dengan perantaraan enzim aldose reduktase akan diubah menjadi sorbitol. Sorbitol akan tertumpuk dalam sel / jaringan tersebut dan menyebabkan kerusakan dan perubahan fungsi, serta menyebabkan arterosklerosis, penebalan membran basalis dan perubahan pada saraf perifer. Ini akan memudahkan terjadinya gangrene.
b. Hiperosmolaritas
Pada penderita diabetes melitus hiperosmolaritas terjadi karena peningkatan konsentrasi glukosa dalam darah. Peningkatan glukosa dalam darah akan berakibat terjadinya kelebihan ambang pada ginjal untuk mengabsorbsi dan memfiltrasi glukosa. Kelebihan ini kemudian menimbulkan efek pembuangan glukosa melalui urin (glukosuria). Glukosuria terjadi akibat tubulus – tubulus renalis tidak dapat menyerap kembali semua glukosa akibat dari hiperglikemia yang parah yang melebihi ambang ginjal normal ( konsentrasi glukosa darah sebesar 160 – 180 mg/100 ml ).
Glukosuria ini akan mengakibatkan kehilangan sebagian besar air (diuresis osmotic) yang menyebabkan poliuri disertai kehilangan sodium, klorida, potasium, dan pospat. Adanya poliuri menyebabkan dehidrasi dan timbul polidipsi. Akibat glukosa yang keluar bersama urine maka pasien akan mengalami keseimbangan protein negatif dan berat badan menurun serta cenderung terjadi polifagi. Akibat yang lain adalah astenia atau kekurangan energi sehingga pasien menjadi cepat telah dan mengantuk yang disebabkan oleh berkurangnya atau hilangnya protein tubuh dan juga berkurangnya penggunaan karbohidrat untuk energi.
c. Starvasi Seluler
Starvasi seluler merupakan kondisi kelaparan yang dialami oleh sel karena glukosa sulit masuk padahal disekeliling sel banyak glukosa. Dampak dari starvasi seluler ini terjadi proses kompensasi seluler untuk tetap mempertahankan fungsi sel antara lain:
1. Jika tidak terdapat glukosa, sel-sel otot memetabolisme cadangan glikogen yang mereka miliki untuk dibongkar menjadi glukosa dan energi mungkin juga menggunakan asam lemak bebas (keton). Kondisi ini ini berdampak pada penurunan massa otot, kelemahan otot dan rasa mudah lelah.
2. Strarvasi seluler juga akan mengakibatkan peningkatan metabolisme protein dan asam amino yang digunakan sebagai substrat yang diperlukan untuk glukoneogenesis dalam hati. Proses ini akan menyebabkan penipisan simpanan protein tubuh karena unsur nitrogen (sebagai unsur pembentuk protein) tidak digunakan kembali untuk semua bagian tetapi diubah menjadi urea dalam hepar dan dieksresikan melalui urin. Depresi proin akan berakibat tubuh menjadi kurus, penurunan resistensi terhadap infeksi dan sulitnya pengembalian jaringan yang rusak.
3. Starvasi juga akan meningkatkan mekanisme penyesuaian tubuh untuk meningkatkan pemasukan dan munculnya rasa ingin makan (polifagi).

2.6 Manifestasi Klinis Diabetes Mellitus
Gejala awalnya berhubungan dengan efek langsung dari kadar gula darah yang tinggi. Jika kadar gula darah sampai diatas 160-180 mg/dL, maka glukosa akan sampai ke air kemih. Jika kadarnya lebih tinggi lagi, ginjal akan membuang air tambahan untuk mengencerkan sejumlah besar glukosa yang hilang. Karena ginjal menghasilkan air kemih dalam jumlah yang berlebihan, maka penderita sering berkemih dalam jumlah yang banyak (poliuri).
Akibat poliuri maka penderita merasakan haus yang berlebihan sehingga banyak minum (polidipsi). Sejumlah besar kalori hilang ke dalam air kemih, penderita mengalami penurunan berat badan. Untuk mengkompensasikan hal ini penderita seringkali merasakan lapar yang luar biasa sehingga banyak makan (polifagi). Gejala lainnya adalah pandangan kabur, pusing, mual dan berkurangnya ketahanan selama melakukan olah raga. Penderita diabetes yang kurang terkontrol lebih peka terhadap infeksi. Karena kekurangan insulin yang berat, maka sebelum menjalani pengobatan penderita diabetes tipe I hampir selalu mengalami penurunan berat badan. Sebagian besar penderita diabetes tipe II tidak mengalami penurunan berat badan.
Pada penderita diabetes tipe I, gejalanya timbul secara tiba-tiba dan bisa berkembang dengan cepat ke dalam suatu keadaan yang disebut dengan ketoasidosis diabetikum. Kadar gula di dalam darah adalah tinggi tetapi karena sebagian besar sel tidak dapat menggunakan gula tanpa insulin, maka sel-sel ini mengambil energi dari sumber yang lain. Sel lemak dipecah dan menghasilkan keton, yang merupakan senyawa kimia beracun yang bisa menyebabkan darah menjadi asam (ketoasidosis). Gejala awal dari ketoasidosis diabetikum adalah rasa haus dan berkemih yang berlebihan, mual, muntah, lelah dan nyeri perut (terutama pada anak-anak). Pernafasan menjadi dalam dan cepat karena tubuh berusaha untuk memperbaiki keasaman darah. Bau nafas penderita tercium seperti bau aseton. Tanpa pengobatan, ketoasidosis diabetikum bisa berkembang menjadi koma, kadang dalam waktu hanya beberapa jam. Bahkan setelah mulai menjalani terapi insulin, penderita diabetes tipe I bisa mengalami ketoasidosis jika mereka melewatkan satu kali penyuntikan insulin atau mengalami stres akibat infeksi, kecelakan atau penyakit yang serius.
Penderita diabetes tipe II bisa tidak menunjukkan gejala-gejala selama beberapa tahun. Jika kekurangan insulin semakin parah, maka timbullah gejala yang berupa sering berkemih dan sering merasa haus. Jarang terjadi ketoasidosis.
2.7 Pemeriksaan Diagnostik Diabetes Mellitus
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah :
a. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah meliputi : GDS > 200 mg/dl, gula darah puasa > 120 mg/dl dan dua jam post prandial > 200 mg/dl.
b. Urine
Pemeriksaan didapatkan adanya glukosa dalam urine. Pemeriksaan dilakukan dengan cara benedict (reduksi). Hasil dapat dilihat melalui perubahan warna pada urine : hijau (+), kuning (++), merah (+++), dan merah bata (++++).
c. Kultur pus
Mengetahui jenis kuman pada luka dan memberikan antibiotic yng sesuai dengan jenis kuman.

2.8 Penatalaksanaan Diabetes Mellitus
a. Obat
Obat-obatan Hipoglikemik Oral (OHO)
1. Golongan sulfoniluria
Cara kerja golongan ini adalah: merangsang sel beta pankreas untuk mengeluarkan insulin, jadi golongan sulfonuria hanya bekerja bila sel-sel beta utuh, menghalangi pengikatan insulin, mempertinggi kepekatan jaringan terhadap insulin dan menekan pengeluaran glukagon. Indikasi pemberian obat golongan sulfoniluria adalah: bila berat badan sekitar ideal kurang lebih 10% dari berat -badan ideal, bila kebutuhan insulin kurang dari 40 u/hari, bila tidak ada stress akut, seperti infeksi berat/perasi.
2. Golongan biguanid
Cara kerja golongan ini tidak merangsang sekresi insulin. Golongan biguanid dapat menurunkan kadar gula darah menjadi normal dan istimewanya tidak pernah menyebabkan hipoglikemi. Efek samping penggunaan obat ini (metformin) menyebabkan anoreksia, nausea, nyeri abdomen dan diare. Metformin telah digunakan pada klien dengan gangguan hati dan ginjal, penyalahgunaan alkohol, kehamilan atau insufisiensi cardiorespiratory.
3. Alfa Glukosidase Inhibitor
Obat ini berguna menghambat kerja insulin alfa glukosidase didalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia post prandial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak menyebabkan hipoglikemi dan tidak berpengaruh pada kadar insulin. Alfa glukosidase inhibitor dapat menghambat bioavailabilitas metformin. Jika dibiarkan bersamaan pada orang normal.
4. Insulin Sensitizing Agent
Obat ini mempunyai efek farmakolagi meningkatkan sensitifitas berbagai masalah akibat resistensi insulin tanpa menyebabakan hipoglikemia.
5. Terapi Insulin
Dari sekian banyak jenis insulin, untuk pratisnya hanya 3 jenis yang penting menurut cara kerjanya yakni menurut Junadi, 1982, diantaranya adalah:
1. Yang kerjanya cepat: RI (Regular insulin) dengan masa kerja 2-4jam contoh obatnya: Actrapid.
2. Yang kerjanya sedang: NPN, dengan masa kerja 6-12jam.
3. Yang kerjanya lambat: PZI (protamme Zinc Insulin) masa kerjanya 18-24jam.

Untuk pasien yang pertama kali akan dapat insulin, sebaiknya selalu dimulai dengan dosis rendah (8-20 unit) disesuaikan dengan reduksi urine dan glukosa darah. Selalu dimulai dengan RI, diberikan 3 kali (misalnya 3 x 8 unit) yang disuntikkan subkutan ½ jam sebelum makan. Jika masih kurang dosis dinaikkan sebanyak 4 unit per tiap suntikan. Setelah keadaan stabil RI dapat diganti dengan insulin kerja sedang atau lama PZI mempunyai efek maksimum setelah penyuntikan.
PZI disuntik 1/4 jam sebelum makan pagi dengan dosis 2/3 dari dosis total RI sehari. Dapat pula diberikan kombinasi RI dengan PZI diberikan sekali sehari. Misalnya semula diberikan RI 3 x 20 unit dapat diganti dengan pemberian RI 20 unit dan PZI 30 unit.

6. Diet
1. Tujuan umum penatalaksanaan diet pada diabetes mellitus adalah:
a. Mencapai dan mempertahankan kadar glukosa darah mendekati kadar normal.
b. Mencapai dan mempertahankan lipid mendekati kadar yang optimal.
c. Mencegah komplikasi akut dan kronik.
d. Meningkatkan kualitas hidup.
2. Jumlah kalori diperhitungkan sebagai berikut:
a. Untuk menentukan diet kita harus tahu dulu kebutuhan energi dari penderita diabetes mellitus. Kebutuhan itu dapat kita tentukan sebagai berikut:
b. Pertama kita tentukan berat badan ideal pasien dengan rumus (Tinggi Badan – 100) – 10% Kg.
c. Kedua kita tentukan kebutuhan kalori penderita. Kalau wanita BB ideal x 25. Sedangkan kalau laki-laki BB ideal x 30.
d. Kalau sudah ketemu kebutuhan energi maka kita dapat menerapkan makanan yang dapat dikonsumsi penderita diabetes mellitus.
e. Karbohidrat kompleks (serat dan tepung) yang dikonsumsi penderita diabetes mellitus harus ditekankan adanya serat. Sumber serat yang baik adalah buah-buahan dan sayur-sayuran.
f. Lemak karena prevalensi penyakit jantung koroner pada diabetes mellitus. Lemak jenuh harus dibatasi sampai sepertiga atau kurang dan kalori lemak yang dianjurkan, dan lemak jenuh harus memenuhi sepertiga dari total kalori lemak.
g. Alkohol mempunyai banyak hal yang tidak menguntungkan untuk penderita diabetes mellitus. Alkohol dapat memperburuk hiperlipidemia, dan dapat mencetuskan hipoglikemia terutama jika tidak makan.
h. Natrium individu dengan diabetes mellitus dianjurkan tidak makan lebih dari 43 gram natrium setiap harinya. Konsumsi yang berlebihan cenderung akan timbul hipertensi.

7. Olah raga
Berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar glukosa darah tetap normal. Dianjurkan latihan jasmani teratur 3-4 kali tiap minggu selama kurang lebih ½ jam yang sifatnya sesuai CRIPE (Continous Rythmiccal Intensify Progressive Endurance). Latihan dilakukan terus menerus tanpa berhenti, otot-otot berkontraksi dan relaksasi secara teratur. Latihan CRIPE minimal dilakukan selama 3 hari dalam seminggu, sedangkan 2 hari yang lain dapat digunakan untuk melakukan olahraga kesenangannya. Adanya kontraksi otot yang teratur akan merangsang peningkatan aliran darah dan penarikan glukosa kedam sel. Prinsipnya, tidak perlu olah raga berat tetapi olah raga ringan asal dilakukan secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan.
Hal yang perlu diingat dalam latihan jasmani adalah jangan memulai olahraga sebelum makan dan penderita diabetes mellitus yang memulai olahraga tanpa makan akan beresiko terjadinya stravasi sel dengan cepat dan akan berdampak pada nekrosis sel.
Olahraga lebih dianjurkan pada pagi hari (sebelum jam 06.00) karena selain udara yang masih bersih juga suasana yang belum ramai sehingga membantu penderita lebih nyaman dan tidak mengalami stress yang lebih tinggi. Olahraga yang teratur akan memperbaiki sirkulasi insulin dengan cara meningkatkan dilatasi sel dan pembuluh darah sehingga membantu masuknya glukosa ke dalam sel. Olahraga disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penderita. Contoh olah raga yang disarankan seperti jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang dll.

2.9 Komplikasi
a. Komplikasi yang bersifat akut
1. Koma Hipoglikemia
Koma hipoglikemia terjadi karena pemakaian obat-obatan diabetic yang melebihi dosis yang dianjurkan sehingga terjadi penurunan glukosa dalam darah. Glukosa yang ada sebagian besar difasilitasi untuk masuk ke dalam sel.
2. Ketoasidosis
Minimnya glukosa di dalam sel akan mengakibatkan sel mencari sumber alternatif untuk dapat memperoleh energi sel. Kalau tidak ada glukosa maka benda-benda keton akan dipakai sel. Kondisi ini akan mengakibatkan penumpukan residu pembongkaran benda-benda keton yang berlebihan yang mengakibatkan asidosis.
3. Koma hiperosmolar nonketotik
Koma ini terjadi karena penurunan komposisi cairan intrasel dan ekstrasel karena banyak diekresi lewat urin.


b. Komplikasi yang bersifat kronik
1. Makroangipati yang mengenai pembuluh darah besar, pembuluh darah jantung, pembuluh darah tepi, pembuluh darah otak. Perubahan pada pembuluh darah besar dapat mengalami atherosclerosis sering terjadi pada DMTII/NIDDM. Komplikasi makroangiopati adalah penyakit vaskuler otak, penyakit arteri koronaria dan penyakit vaskuler perifer.
2. Mikroangiopati yang mengenai pembuluh darah kecil, retinopati diabetika, nefropati diabetic. Ditandai dengan penebalan dan kerusakan membran diantara jaringan dan pembuluh darah sekitar. Terjadi pada penderita DMTI/IDDM yang terjadi neuropati, nefropati, dan retinopati. Nefropati terjadi karena perubahan mikrovaskuler pada struktur dan fingsi ginjal yang menyebabkan komplikasi pada pelvis ginjal. Retinopati adalah adanya perubahan dalam retina karena penurunan protein dalam retina. Perubahan ini dapat berakibat gangguan dalam penglihatan.
3. Neuropati diabetika
Akumulasi orbital didalam jaringan dan perubahan metabolik mengakibatkan fungsi sensorik dan motorik saraf menurun kehilangan sensori mengakibatkan penurunan persepsi nyeri.
4. Rentan infeksi seperti tuberculosis paru, gingivitis, dan infeksi saluran kemih.
5. Kaki diabetik
Perubahan mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati menyebabkan perubahan pada ekstremitas bawah. Komplikasinya dapat terjadi gangguan sirkulasi, terjadi infeksi, gangren, penurunan sensasi dan hilangnya fungsi saraf sensorik dapat menunjang terjadinya trauma atau tidak terkontrolnya infeksi yang mengakibatkan gangren.

2.10 WOC Diabetes Melitus
(Lampiran)

2.11 Pencegahan
Menurut WHO tahun 1994, upaya pencegahan pada diabetes ada tiga jenis atau tahap yaitu:
1. Pencegahan primer
Semua aktivitas yang ditunjukan untuk mencegah timbulnya hiperglikemia pada individu yang berisiko untuk jadi diabetes atau pada populasi umum. Pencegahan berupa memberi penjelasan kepada masyarakat bahwa makanan sehat dengan pola tradisional yang mengandung lemak rendah atau pola makanan seimbang adalah alternative terbaik dan harus mulai ditanamkan pada anak-anak sekolah sejak taman kanak-kanak. Selain makanan juga cara hidup berisiko lainnya harus dihindari. Jaga berat badan agar tidak gemuk, dengan olah raga teratur. Dengan menganjurkan olah raga kepada kelompok risiko tinggi, misalnya anak-anak pasien diabetes.

2. Pencegahan sekunder
Menemukan pengidap DM sedini mungkin, misalnya dengan tes penyaringan terutama pada populasi risiko tinggi. Dengan demikian pasien diabetes yang sebelumnya tidak terdiagnosis dapat terjaring, hingga dengan demikian dapat dilakukan upaya untk merncegah komplikasi atau kalaupun sudah ada komplikasi masih reversible.

3. Pencegahan tersier
Semua upaya untuk mencegah komplikasi atau kecacatan akibat komplikasi itu. Upaya ini meliputi:
1. Mencegah timbulnya komplikasi
2. Mencegah progesi dari pada komplikasi untuk tidak menjurus kepada penyakit organ dan kegagalan organ
3. Mencegah kecacatan tubuh


BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN


3.1. Asuhan Keperawatan pada Klien Diabetes Melitus
3.1.1 Pengkajian
1) Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, status perkawinan, suku bangsa, nomor register, tanggal masuk rumah sakit dan diagnosa medis.
2) Keluhan utama
Adanya rasa kesemutan pada kaki / tungkai bawah, rasa raba yang menurun, adanya luka yang tidak sembuh – sembuh dan berbau, adanya nyeri pada luka.
3) Riwayat penyakit sekarang
Berisi tentang kapan terjadinya luka, penyebab terjadinya luka serta upaya yang telah dilakukan oleh penderita untuk mengatasinya.
4) Riwayat penyakit terdahulu
Adanya riwayat penyakit DM atau penyakit – penyakit lain yang ada kaitannya dengan defisiensi insulin misalnya penyakit pankreas. Adanya riwayat penyakit jantung, obesitas, maupun arterosklerosis, tindakan medis yang pernah di dapat maupun obat-obatan yang biasa digunakan oleh penderita.
5) Riwayat penyakit keluarga
Dari genogram keluarga biasanya terdapat salah satu anggota keluarga yang juga menderita DM atau penyakit keturunan yang dapat menyebabkan terjadinya defisiensi insulin misal hipertensi, jantung.


6) Riwayat psikososial
Meliputi perasaan klien terhadap penyakitnya, bagaimana cara mengatasinya serta bagaimana perilaku klien terhadap tindakan yang dilakukan terhadap dirinya. Klien juga merasa malu terhadap penampilannya saat terdapat gangren di area tubuhnya karena berbau dan tidak sedap dipandang mata.


3.1.2 Review Of System (ROS):
B1: Sesak nafas, nyeri dada.
B2: Perfusi jaringan menurun, nadi perifer lemah atau berkurang, takikardi/bradikardi, hipertensi/ hipotensi.
B3: Terjadi penurunan sensoris
B4: Poliuri, retensio urine, inkontinensia urine
B5: Terdapat polifagi, polidipsi, mual, muntah, dehidrase
B6: Cepat lelah, lemah dan adanya gangren di ekstrimitas.
3.1.3 Analisis Data
Data Etiologi Masalah Keperawatan
DS: Klien mengatakan sering minum, sering BAK
DO: Membrane mukosa kering, urin encer, turgor kulit jelek
Penurunan insulin
DM
Penurunan fasilitas Glukosa ke dalam sel

glukosa menumpuk di darah
peningkatan tekanan osmolitas plasma
kelebihan ambang glukosa pada ginjal
diueresis osmotic
poliuria
deficit volume cairan
Kekurangan volume cairan tubuh
DS : Klien mengeluh mengantuk, lemas dan kelelahan
DO : Perfusi jaringan menurun, nadi perifer lemah atau berkurang dan sianosis Penurunan insulin
DM
Viskositas darah
Terganggunya distribusi O2 dan nutrisi oleh darah ke seluruh sel-sel jaringan tubuh
Gangguan Perfusi jaringan tubuh
Gangguan perfusi jaringan tubuh
DS : Klien mengeluh nyeri pada gangren di ekstremitas
DO :Luka gangren di ekstremitas penuh dengan pus dan darah Penurunan insulin
DM
Viskositas darah
Terganggunya distribusi nutrisi oleh darah ke sel-sel jaringan tubuh
Luka sukar sembuh
Jaringan mengalami iskemi
Nyeri
Gangguan rasa nyaman (nyeri)
DS: klien mengatakan pandangannya kabur
DO: visus dengan Snellen Card 5 meter




Ketidakseimbangan insulin-glukosa

DM
Kadar glukosa meningkat didalam darah
Perfusi jaringan terganggu
Transpor oksigen dan nutrisi ke mata tidak adekuat
resiko tinggi perubahan persepsi sensori Risiko tinggi gangguan Persepsi-Sensori:Penglihatan
DS:klien mengatakan badannya terasa lemah, letih, malaise
DO:skor kekuatan otot ekstremitas atas dan bawah 4







Penurunan insulin
DM
Penurunan fasilitas Glukosa ke dalam sel
Sel tidak Memperoleh Nutrisi
Starvasi seluler
sel tidak dapat menggunakan glukosa sebagai energi
penurunan produksi energy metabolic
Kelelahan
Kelelahan
DS : Klien mengeluh luka susah sembuh
DO : - Defisit Perawatan luka dan diet
Luka susah sembuh
Kurangnya pengetahuan Kurangnya pengetahuan

3.2 Diagnosa Keperawatan
1. Defisit volume cairan tubuh b.d diuresis osmotik
2. Gangguan perfusi jaringan tubuh b.d gangguan aliran darah sekunder akibat diabetes melitus
3. Gangguan rasa nyaman (nyeri) b.d iskemik jaringan
4. Risiko tinggi gangguan Persepsi-Sensori:Penglihatan b.d ketidakseimbangan glukosa atau insulun dan atau elektrolit
5. Kelelahan b.d penurunan masa otot akibat defisiensi insulin gagal untuk melakukan asupan glukosa bagi jaringan-jaringan peripheral.
6. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan pengobatan b.d terbatasnya informasi.
3.3 Perencanaan dan Intervensi Keperawatan
1. Diagnosa keperawatan : Defisit volume cairan tubuh b.d diuresis osmotik
• Tujuan: Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer dapat diraba, turgor kulit dan pengisian kapiler baik, haluaran urin tepat secara individu, dan kadar elektrolit dalam batas normal.
• Kriteria Hasil:
TINDAKAN RASIONAL
1. Pertahankan untuk memberikan cairan paling sedikit 2500 ml/hari dalam batas yang dapat ditoleransi jantung jika pemasukan cairan melalui oral sudah diberikan.
2. Tingkatkan lingkungan yang dapat menimbulkan rasa nyaman. Selimuti pasien dengan selimut tipis.
3. Berikan terapi cairan sesuai dengan indikasi:
Normal salin atau setengah normal salin dengan atau tanpa dextrosa, Albumin, plasma, atau dextran



4. Berikan kalium atau elektrolit yang lain melalui IV dan/atau melalui oral sesuai indikasi.



5. Berikan bikarbonat jika pH kurang dari 7,0.


6. Pasang selang NG dan lakukan penghisapan sesuai dengan indikasi Mempertahankan hidrasi/volume sirkulasi.






Menghindari pemanasan yang berlebihan terhadap pasien lebih lanjut akan dapat menimbulkan kehilangan cairan.

Tipe dan jumlah dari cairan tergantung pada derajat kekurangan cairan dan respon pasien secara individual. Plasma ekspander (pengganti) kadang dibutuhkan jika kekurangan tersebut mengancam kehidupan atau tekanan darah sudah tidak dapat kembali normal dengan usaha-usaha rehidrasi yang telah dilakukan.

Kalium harus ditambahkan pada IV(segera aliran urine adekuat) untuk mencegah hipokalemia. Catatan: kalium fosfat dapat diberikan jika cairan IV mengandung natrium klorida untuk mencegah kelebihan beban klorida.

Diberikan dengan hati-hati untuk membantu memperbaiki asidosis pada adanya hipotensi atau syok.

Mendekompresi lambung dan dapat menghilangkan muntah.

2. Diagnosa keperawatan : Gangguan perfusi jaringan tubuh b.d gangguan aliran darah sekunder akibat diabetes melitus
• Tujuan : mempertahankan sirkulasi perifer tetap normal.
• Kriteria Hasil :
- Denyut nadi perifer teraba kuat dan reguler
- Warna kulit sekitar luka tidak pucat/sianosis
- Kulit sekitar luka teraba hangat.
- Oedema tidak terjadi dan luka tidak bertambah parah.
- Sensorik dan motorik membaik
Intervensi Rasional
1. Ajarkan pasien untuk melakukan mobilisasi
2. Ajarkan tentang modifikasi faktor-faktor resiko berupa : Hindari diet tinggi kolestrol, teknik relaksasi, menghentikan kebiasaan merokok, dan penggunaan obat vasokontriksi.
3. Kerja sama dengan tim kesehatan lain dalam pemberian vasodilator, pemeriksaan gula darah secara rutin dan terapi oksigen ( HBO ).
Mobilisasi dapat meningkatkan sirkulasi darah.
Kolestrol tinggi dapat mempercepat terjadinya arterosklerosis, merokok dapat menyebabkan terjadinya vasokontriksi pembuluh darah, relaksasi untuk mengurangi efek dari stres.


Pemberian vasodilator akan meningkatkan dilatasi pembuluh darah sehingga perfusi jaringan dapat diperbaiki, sedangkan pemeriksaan gula darah secara rutin dapat mengetahui perkembangan dan keadaan pasien, HBO untuk memperbaiki oksigenasi daerah ulkus/gangren.

3. Diagnosa keperawatan : Gangguan rasa nyaman (nyeri) b.d iskemik jaringan
• Tujuan : rasa nyeri hilang/berkurang
• Kriteria hasil :
- Penderita secara verbal mengatakan nyeri berkurang/hilang .
- Penderita dapat melakukan metode atau tindakan untuk mengatasi atau mengurangi nyeri .
- Pergerakan penderita bertambah luas.
- Tidak ada keringat dingin, tanda vital dalam batas normal.( S : 36 – 37,5 0C, N: 60 – 80 x /menit, T : 100 – 130 mmHg, RR : 18 – 20 x /menit ).
Intervensi Rasional
1. Ciptakan lingkungan yang tenang.

2. Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi.

3. Atur posisi pasien senyaman mungkin sesuai keinginan pasien

4. Lakukan massage dan kompres luka dengan BWC saat rawat luka.

5. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgesik. Rangasangan yang berlebihan dari lingkungan akan memperberat rasa nyeri.

Teknik distraksi dan relaksasi dapat mengurangi rasa nyeri yang dirasakan pasien.

Posisi yang nyaman akan membantu memberikan kesempatan pada otot untuk relaksasi seoptimal mungkin.

massage dapat meningkatkan vaskulerisasi dan pengeluaran pus sedangkan BWC sebagai desinfektan yang dapat memberikan rasa nyaman.

Obat –obat analgesik dapat membantu mengurangi nyeri pasien.

4. Diagnosa keperawatan : Risiko tinggi Persepsi-Sensori:Penglihatan b.d ketidakseimbangan glukosa atau insulin dan atau elektrolit.
• Tujuan: mempertahankan tingkat kesadaran atau orientasi
• Kriteria hasil: mengenali dan mengkompensasi adanya kerusakan sensori
TINDAKAN RASIONAL
1. Pelihara aktivitas rutin pasien sekonsisten mungkin, dorong untuk melakukan kegiatan sehari-hari sesuai kemampuannya.
2. Berikan tempat tidur yang lembut. Pelihara kehangatan kaki/tangan, hindari terpajan terhadap air panas atau dingin atau penggunaan bantalan/pemanas.
3. Bantu pasien dalam ambulasi atau perubahan posisi.
Membantu memelihara pasien tetap berhubungan dengan realitas dan mempertahankan orientasi pada lingkungannya.


Meningkatkan rasa nyaman dan menurunkan kemungkinan kerusakan kulit karena panas.




Meningkatkan keamanan pasien terutama ketika rasa keseimbangan dipengaruhi.


5. Diagnosa keperawatan :Kelelahan b.d penurunan masa otot akibat defisiensi insulin gagal untuk melakukan asupan glukosa bagi jaringan-jaringan peripheral.
Tujuan : Selama perawatan klien dapat melakukan aktivitas dengan baik sesuai tingkat yang dpat ditoleransi
Kriteria hasil :
- Klien tidak mengeluh saat melakukan kegiatan
- Tingkat daya tahan tubuh klien kuat dalam beraktivitas
- Klien menyatakan tidak ada kelelahan

Intervensi Rasional
1. Ajarkan teknik relaksasi

2. Berikan aktivitas alternatif dengan periode istirahat yang cukup/tanpa diganggu.
3. Diskusikan cara menghemat kalori selama mandi,berpindah tempat dan sebagainya.
4. Tingkatkan partisipasi pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari sesuai dengan yang dapat ditoleransi Teknik relaksasi akan membantu klien untuk menciptakan rasa tenang sebagai aternatif keletihannya dalam beraktivitas.
Mencegah kelelahan yang berlebihan

Pasien akan dapat melakukan lebih banyak kegiatan dengan penurunan kebutuhan akan energi pada setiap kegiatan.
Meningkatkan kepercayaan diri/harga diri yang positif sesuai tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi pasien
6. Diagnosa keperawatan :Kurangnya pengetahuan tentang penatalaksanaan pengobatan b.d terbatasnya informasi
• Tujuan : Pasien memperoleh informasi yang jelas dan benar tentang penyakitnya.
• Kriteria Hasil :
- Pasien mengetahui tentang proses penyakit, diet, perawatan dan pengobatannya dan dapat menjelaskan kembali bila ditanya.
- Pasien dapat melakukan perawatan diri sendiri berdasarkan pengetahuan yang diperoleh.

Intervensi Rasional
1. Gunakan gambar-gambar dalam memberikan penjelasan ( jika ada / memungkinkan).
2. Tekankan pentingnya mempertahankan pemeriksaan gula darah setiap hari, waktu dan dosis obat, diet, aktivitas, perasaan/sensasi dan peristiwa dalam hidup.
3. Rekomendasikan untuk tidak menggunakan obat-obat yang dijual bebas tanpa konsultasi dengan tenaga kesehatan/tidak boleh memkai obat tanpa resep. Gambar-gambar dapat membantu mengingat penjelasan yang telah diberikan

Membantu dalam menciptakan gambaran nyata dari keadaan pasien untuk melakukan kontrol penyakitnya dengan lebih baik dan meningkatkan perawatan diri/kemandiriannya.


Produktivitas mungkin mengandung gula atau berinteraksi dengan obat-obat yang diresepkan.











BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Diabetes Mellitus ( DM ) adalah penyakit metabolik yang kebanyakan herediter, dengan tanda – tanda hiperglikemia dan glukosuria, disertai dengan atau tidak adanya gejala klinik akut ataupun kronik, sebagai akibat dari kuranganya insulin efektif di dalam tubuh, gangguan primer terletak pada metabolisme karbohidrat yang biasanya disertai juga gangguan metabolisme lemak dan protein. ( Askandar, 2000).
Klasifikasi diabebtes melitus dibagi menjadi 4, yaitu:
a. Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM)
b. Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM)
c. Diabetes Melitus tipe yang lain
d. Impared Glukosa Tolerance (gangguan toleransi glukosa)
e. Gastrointestinal Diabetes Melitus (GDM)
Penatalaksanaan diabetes mellitus bisa menggunakan obat-obatan Hipoglikemik Oral (OHO) , insulin, diet , olah raga dan pengubahan life style yang baik serta pencegahan secara primer, sekunder, maupun tersier . Sehingga dengan adanya penatalaksanaan tersebut diharapkan dapat membantu pasien untuk dapat memaksimalkan fungsi hidupnya kembali serta memandirikan pasien untuk memenuhi kebutuhan dasar manusianya.

4.2 Saran
Kami sarankan kepada perawat untuk lebih aktif dalam memberikan penyuluhan pengabdian masyarakat untuk mengurangi angka kesakitan penyakit diabetes melitus. Dengan tindakan preventif primer, sekunder dan tersier yang dilakukan bersama oleh semua pihak, maka diharapkan komplikasi dari diabetes melitus akan berkurang.

Daftar Pustaka

Carpenito, Lynda Juall, Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 alih bahasa YasminAsih, Jakarta : EGC, 1997.

Doenges, Marilynn E, dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan (Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien). Jakarta : EGC.

Guyton, Arthur C dan John E Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, E/11. Jakarta: EGC.

Riyadi, Sujono. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Eksokrin dan endokrin Pada Pankreas. Jakarta: EGC

Hidayat.2009.Askep Diabetes melitus (DM). Diambil dari www.hidayat2.blog.htm diakses pada tanggal 14 Oktober 2010 pukul 18.30 WIB

Anonim,(http://www.mail-archive.co/dokter-umum@yahoogroups.com/msg00070-html Diakses pada tanggal 14 Oktober 2010 pukul 19.00 WIB

Ismail. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Diabetes Melitus. Diambil dari http/www.findtoyou.comebookdownload-askep+nutrisi-975622.html.pdf. Diakses pada tanggal 14 Oktober 2010 pukul 19.07 WIB

Teguh Subianto. Asuhan Keperawatan Diabetes Melitus. Diambil dari www.asuhan-keperawatan-diabetes-mellitus.html. Diakses pada tanggal 14 Oktober 2010 pukul 19.15 WIB